Kasus ini menimbulkan persepsi beragam di masyarakat. Sadis, kasihan baik terhadap keluarga korban maupun terhukum yang baru masuk usia dewasa muda. Heboh sudah pasti. Bagi masyarakat bisa dijadikan bahan kajian, kendali emosi.
Kasi Humas Polres Tanah Bumbu, AKP H I Made Rasa kepada pers
detikcom, Sabtu, 4 Juni 2022, menceritakan kronologi kejadian, begini:
Kamis, 2 Juni 2022 sekitar pukul 13.00 WITA. Panas terik di Desa Saring Sungai Bubu, Kecamatan Kusan Tengah, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel.
Nor Laila (39) serta dua anak lakinya usia 6 dan 4 tahun, warga di situ. Ia ditawari es teh oleh penjualnya, Ryan yang masih tetangga jauh. Laila pesan segelas, minta diantarkan ke rumah. Ryan kembali ke warungnya, membuat es teh.
Lalu, Ryan mengantarkan es teh ke rumah Laila. Menyerahkannya. Saat itulah meleset. Es teh tumpah.
Ryan menyalahkan Laila, begitu juga sebaliknya. Mereka cek-cok. Memuncak jadi saling marah. Memuncak lagi, Ryan memukul Laila. Sebaliknya, Laila melawan dengan membentak-bentak.
Ryan tambah marah, menjambak rambut Laila dengan tangan kiri, mencabut pisau di tangan kanan. Jadi, ia sudah bawa pisau.
Di saat genting itu, dua anak Laila membela ibu mereka. Dengan cara memukul Ryan. Pukulan anak umur 6 dan 4 tahun.
Ternyata Ryan berbalik, langsung menikam dada anak Laila. Ujung pisau masuk dada. Pisau dicabut Ryan, beralih ditikamkan ke anak satu lagi ke arah leher. Darah menyembur dari tubuh dua bocah itu.
Laila spontan histeris. Teriak sekuatnya. Saat itulah Ryan menggorok leher Laila hingga nyaris putus. Kemudian, Ryan kabur lewat belakang rumah. Mungkin, akibat keributan itu Ryan mengira di bagian depan rumah sudah ramai tetangga.
Para tetangga berdatangan. Menolong. Membawa ibu-anak-anak itu ke rumah sakit. Dua anak meninggal dalam perjalanan ke RS, sedangkan Laila meninggal setelah dua hari dirawat.
Tentang Ryan bawa pisau, AKP Made Rasa mengatakan, warga di sana sudah biasa begitu. "Bagi orang Banjar terbiasa ke mana-mana bawa pisau di pinggang." Dinilai, bukan suatu persiapan untuk membunuh.
Motif pembunuhan, tertulis sakit hati. “Mungkin terdakwa takut disuruh ganti lagi es yang tumpah. Marah-lah ia. Langsung melakukan tindakan yang di kronologi itu," kata Made.
Sabtu, 4 Juni 2022 atau dua hari kemudian, Ryan ditangkap, masih di wilayah Tanah Bumbu. Ia dijerat Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana. Meskipun, dari kronologi, pembunuhan itu spontan. Tidak cukup waktu buat Ryan berpikir.
Kata "cukup waktu" merupakan kunci penerapan Pasal 340. Sebagai pembeda dengan Pasal 338 KUHP, pembunuhan biasa (bukan terencana).
Polisi menjerat Pasal 340, dan jaksa juga setuju. Pun hakim sependapat, menjatuhkan hukuman maksimal, hukuman mati. Mungkin pertimbangan penegak hukum menilai dari tingkat sadisme perkara ini. Dan, rasa keadilan masyarakat.
Tapi, paling tak habis pikir, mengapa motif sangat sepele menimbulkan reaksi sekejam itu? Bukankah, es tumpah adalah kejadian wajar dan sering terjadi? Harganya pun tak sampai sepiring nasi.
Ryan tidak gila. Saat kejadian, ia tidak dalam pengaruh minuman alkohol. Tidak disebutkan latar belakang dendam dalam berkas perkara. Kejadian spontan yang kejam. Mengerikan.
Prof Martin Daly dalam bukunya, bertajuk: “
Killing the Competition: Economic Inequality and Homicide†(Routledge, 2017) menyebutkan:
Pembunuhan tidak selalu bermotif 'berat'. Maksudnya, masalah berbobobot signifikan yang mampu menimbulkan reaksi emosional meluap, dalam ukuran universal. Melainkan, penyebab sepele pun bisa memicu pembunuhan.
Diulas di situ, umumnya pembunuhan bermotif 'berat'. Tapi tidak selalu.
Kriminolog di abad ke-20 telah mengetahui selama beberapa dekade bahwa ketimpangan penghasilan dalam masyarakat, adalah prediktor terbaik buat pembunuhan. Gampangnya, ketimpangan kaya dan miskin yang terlalu lebar, atau jauh, jadi bibit unggul pembunuhan.
Dilanjut di buku, ada jawaban yang sederhana dan meyakinkan: Kebanyakan pembunuhan adalah kesudahan dari interaksi kompetitif antara laki-laki. Secara relatif, di mana barang yang diinginkan didistribusikan secara tidak adil dan persaingan untuk barang tersebut.
Ketimpangan penghasilan dalam masyarakat, jadi semacam bara dalam sekam. Dari perspektif si miskin. Tidak tampak di permukaan, tapi ada. Terselip kecemburuan sosial yang mengendap jadi dendam. Maka, dengan pemicu peristiwa kecil, bara api itu membesar seketika. Jadi kelihatan mengagetkan.
Prof Daly adalah guru besar emeritus psikologi di McMaster University, di Ontario, Kanada. Ia menulis buku itu setelah mempelajari hubungan antara ketimpangan pendapatan masyarakat dengan pembunuhan selama beberapa dekade.
Daly mengatakan, bagi pelaku pembunuhan yang masuk dalam teori ini, ia merasa pegang kendali. Punya
power. Harga diri naik drastis. Sebagai kompensasi rasa rendah atas penghasilan yang kecil, terhadap korban yang berpenghasilan lebih besar.
Juga, pelaku mempertaruhkan masa depan yang tidak bagus. Maksudnya, pelaku punya kalkulasi otomatis, bahwa hasil (pegang kendali) lebih tinggi dibanding risiko (masa depan yang memang suram).
Kajian ini jadi perhatian pemerintah negara-negara Barat, untuk menerapkan pajak sangat tinggi. Orang semakin kaya kena pajak semakin besar. Uangnya dikelola negara. Didistribusikan (tanpa korupsi) untuk memberi subsidi si miskin. Misal, sekolah dan kesehatan gratis. Pengangguran digaji negara. Lansia diberi tunjangan.
Teori Prof Daly itu hasil riset di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1990-an. Baru dibukukan pada tahun terbit di atas. Sebelum dibukukan pun sudah beredar di kalangan ilmuwan kriminologi-psikologi-sosiologi internasional, melalui jurnal-jurnal ilmiah.
Teori itu dilawan teori baru. Prof William Alex Pridemore dalam riset kriminologi, bertajuk: “
Poverty Matters: A Reassessment of the Inequality-Homicide Relationship in Cross-National Studies†yang dimuat di British Journal of Criminology, edisi Agustus 2011, menyebutkan:
Teori 'Ketimpangan Penghasilan' Prof Daly, lemah. Memang betul, motif pembunuhan bisa bersumber dari hal-hal sepele. Dan, bermotif harta. Tapi, tidak sepenuhnya akibat jurang kaya-miskin yang dalam.
Prof Pridemore adalah kriminolog. Guru besar peradilan pidana di University at Albany, New York, AS.
Disebutkan Prof Pridemore: "Bahwa korelasi ketidaksetaraan penghasilan masyarakat dengan pembunuhan, adalah artefak metodologis."
Ulasannya teknis gabungan kriminologi dan ilmu ekonomi. Karena, itu jurnal ilmiah. Tapi, gampangnya ia menulis begini:
Pridemore memberikan contoh, bersifat teoretis. Tentang sebuah negara di mana setiap orang bekerja dengan baik. Warga tidak kurang sandang, pangan, papan, sekolah, kesehatan, hiburan dan kebutuhan sekunder lainnya.
Rata-rata warga di negara itu mukim di lingkungan yang tertata bagus, aman, sehat dan nyaman. Warga bisa rekreasi mewah saat liburan. Seumpama digambarkan di Indonesia, kira-kira warga yang tinggal di perumahan kluster kelas menengah atas. Makmur.
Tapi, di antara perumahan kluster itu ditinggali beberapa miliarder yang sangat kaya. Jauh lebih kaya dibanding rata-rata tetangga. Bisa disimpulkan, ada ketimpangan kepemilikan harta di perumahan kluster tersebut.
Pridemore dalam makalahnya bertanya, apakah tempat semacam ini punya tingkat kekerasan yang sama dengan tempat, di mana orang-orang berada dalam kemiskinan yang parah?
Dengan kata lain, Pridemore bertanya, apakah warga kelas rata-rata di perumahan kluster itu menyimpan dendam sosial terhadap beberapa miliarder yang jadi tetangga mereka?
Alhasil, Pridemore berpendapat, bahwa bukan 'Keimpangan Penghasilan' penyebab tindak kriminal (termasuk pembunuhan) melainkan fokus ke kemiskinan. Gampangnya, timpang kepemilikan harta tak masalah, asal warga rata-rata hidup cukup makmur.
Ulasan Pridemore ini selaras dengan pendapat Bapak Kriminologi Dunia, Prof Cesare Lambroso, kriminolog Italia yang menyatakan: "Kemiskinan adalah ibu dari kriminalitas."
Dalam kasus tukang es teh Ryan, pastinya miskin. Tinggal bertetangga dengan korban, yang secara ekonomis kurang-lebih setara. Beda-beda tipis-lah. Ryan bukan membunuh orang bergelimang harta.
Maka, teori Pridemore lebih cocok di kasus tersebut.
Kalau begitu, berat. Cara mengatasinya, berat. Karena, penyelenggara negara harus bisa membikin makmur warga negara, di tengah korupsi yang sangat serakah, sekarang.
Penulis adalah Wartawan Senior
BERITA TERKAIT: