Perkembangan media massa sendiri, tidak selalu diikuti dengan ekses positif namun juga terdapat banyak ekses negatifnya, baik isi maupun narasi yang dibangun.
Media massa baik media massa tradisional maupun digital, memiliki tiga prinsip utama, yaitu: kebebasan (yang tidak terbatas), kesetaraan yang menerapkan
cover both side, dan keaanekaragaman. Media massa Juga dituntut untuk mengedepankan prinsip objektivitas.
Ketiga konsep ini diperkenalkan oleh Westerstahl dan harus meliputi dimensi faktualitas yaitu kebenaran yang diindikasikan dengan akurasi dan kelengkapan berita serta relevansi yang diindikasikan dengan kepatuhan media terhadap standar normatif, standar profesi, kode etik.
Ketidakpatuhan atau ketidakpahaman awak media, seringkali memunculkan berita yang membawa resiko hukum baik bagi wartawan maupun medianya yang memuat berita hasil liputan awak media.
Sumber berita sering merasa tidak dikonfirmasi dahulu oleh awak media atau memang pernah diminta konfirmasinya dan ternyata obyek berita tetap dimunculkan oleh awak media, walaupun pihak subyek berita sudah memberikan data yang benar sementara issue yang dibuat bukan issue nyata alias tanpa data. Bisa saja awak media berprinsip, issue yang ditulis lebih seksi dan harus naik, walaupun sebenarnya tidak dikuatkan dengan data yang valid. Justru data yang valid tidak dijadikan sebagai pertimbangan suatu issue diangkat dalam media atau tidak.
Banyak berita di media massa yang berujung pada laporan atau pengaduan kepada Polri oleh para pihak yang merasa dirugikan haknya dengan adanya karya jurnalistik.
Objektivitas suatu karya jurnalistik yang dapat dilihat dari dimensi evaluatif, yakni karya jurnalistik dituntut untuk tidak berpihak. Indikasinya adalah berita media bersifat proporsional dan non-sensasional.
Apakah suatu berita menerapkan objektivitas atau malah obyektivitas masih merupakan barang mahal yang acapkali diabaikan oleh media massa di Indonesia?
Pada kenyataannya, dalam mengangkat suatu berita, objektivitas dan penerapan prinsip media terhambat oleh struktur kepemilikan media yang monopolistik dan bahkan abai terhadap kepentingan publik dan tidak bisa menghadirkan ranah publik karena mengutamakan kepentingan pemilik media.
Dalam rezim Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidik Polri adalah penyidik yang diberikan kewenangan menjadi pintu masuknya sistem peradilan pidana di Indonesia.
Para pencari keadilan akan menjadikan Polri dari tingkat paling bawah sampai tingkat mabes Polri untuk mengadukan permasalahan yang dihadapi.
Berkaitan dengan permasalahan karya jusnalistik yang diangkat di media massa yang sering menjadi obyek perseteruan, Polri harus dapat mengambil langkah yang berani dengan tetap berpegang pada rezim KUHAP.
Menilai suatu karya jurnalistik menjadi ranah Dewan Pers, hal Ini sejalan dengan perintah Undang-undang No 40/1999 Tentang Pers yang menyebutkan salah satu fungsi Dewan Pers adalah: “memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.†Pasal 15 Ayat (2) (d).
Masyarakat yang datang dan membuat pengaduan kepada Polri, seharusnya diarahkan untuk membuat pengaduannya ke Dewan Pers setempat. Dewan Pers bukan menjadi obyek rezim KUHAP sehingga terbebas dari beban kewajiban yang ada dalam KUHAP.
Karena Dewan Pers tidak tunduk pada rezim KUHAP dan menjadi pintu masuk “pengaduan†para pihak yang merasa dirugikan oleh jurnalis, maka konsep “pengaduan†dalam rezim KUHAP tidak berlaku untuk Dewan Pers.
Berbeda dengan penyidik Polisi karna Polisi adalah bagian dari sistem peradilan pidana Indonesia yang tunduk pada rezim KUHAP.
Setelah Dewan Pers bekerja dan ternyata obyek jurnalistik merupakan obyek pidana maka Dewan Pers dapat memberikan rekomendasi kepada pengadu untuk membuat laporan kepada penyidik Polri atau bahkan Dewan Pers yang menjadi pihak pelapor.
Pada saat seseorang yang merasa dirugikan haknya atas munculnya suatu pemberitaan di media massa membawa permasalahan tersebut kepada penyidik Polri, penyidik sudah mendapatkan sekurangnya dua alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP berupa Surat Rekomendasi dari Dewan Pers dan barang bukti berupa berita yang dianggap merugikan hak pelapor.
Penyidik juga dapat memeriksa Dewan Pers untuk menjadi ahli dalam kasus dimaksud dan jika media massa adalah media digital, maka penyidik dapat meminta laboratorium forensik Polri untuk memeriksa obyek berita.
Mekanisme diatas dapat mengurangi resiko negatif bagi penyidik Polri karena masih adanya perbedaan pandangan apakah suatu obyek berita menjadi pidana atau masih ranah Dewan Pers saat seseorang merasa dirugikan dengan adanya suatu karya jurnalis.
*Penulis merupakan perwira tinggi (pati) pada SOPS Polri
BERITA TERKAIT: