Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bulan di Atas Omah Petroek

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/trias-kuncahyono-5'>TRIAS KUNCAHYONO</a>
OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
  • Minggu, 22 Mei 2022, 00:00 WIB
Bulan di Atas Omah Petroek
Ilustrasi/Net
OMAH Petroek, malam itu meriah. Tidak hanya meriah, tetapi benar-benar begitu hidup. Bulan bulat sehari sebelum Waisak, yang menggantung di langit menyaksikan kegembiraan itu.

Bulan itu tersenyum memandangi penduduk Pakem, Wonorejo, Hargobinangun yang berkumpul di Omah Petroek berbaur dengan para tamu terhormat. Ada Sukardi Rinakit yang sehari-hari di istana presiden, ada pejabat desa, biarawan, biarawati, seniman, ilmuwan, wartawan, aktivis lingkungan, dan mahasiswa.

Bahkan, ada pula mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang masih seperti dulu ramah, banyak tawa, dan dengan suka hati menerima permintaan warga desa untuk berfoto bersama.

Ada wajah kelegaan pada Bulan melihat tak ada sekat-sekat antara rakyat biasa dan tamu-tamu terpandang; yang wangi dan yang kurang wangi; yang bersepatu dan yang bersandal jepit atau cekeran; yang sekolah tinggi maupun yang hanya sempat merasakan bangku sekolah dasar; yang kerja kantoran dan yang saban hari bergelut dengan lumpur di sawah atau di kebon; yang tahu seni bahkan menggeluti dan yang  mengartikan tontonan itu semata-mata sebagai hiburan setelah pandemi yang mencengkeram dan menenggelamkan semua kegiatan.

Sinar bulan purnama semakin lama semakin terang memandikan tubuh mereka yang duduk dan berdiri menikmati tontonan malam itu, sambil menikmati aneka makanan yang disediakan secara gratis. Semuanya dalam dekapan kebersamaan. Malam itu tepat ketika bulan bersinar terang bagai ratu di atas singgasana.

Semua yang ada di Omah Petroek ikut “Merayakan Persahabatan” di saat Romo Sindhunata, rohaniawan, budayawan, sastrawan, analis sepak bola, penulis novel Anak Bajang Menggiring Angin, Anak Bajang Mengayun Bulan, dan banyak buku lainnya, berulang tahun ke-70.

“Seluruh hidup saya tergantung pada kebaikan teman-teman, sahabat dan sesama. Tujuh puluh tahun adalah saat yang indah untuk mengenang dan merayakannya,” kata Romo Sindhu.

*

Persahabatan memang layak dan pantas dirayakan. Apalagi, di zaman sekarang ini�"ketika perkawanan dan juga yang katanya persahabatan�"nyaris hampir semuanya dibangun atas dasar kepentingan; atas dasar hitung-hitungan untung rugi; atas dasar kesamaan warna “baju”, yang berbeda warna dianggap dan dipandang orang luar; atas dasar “kami” dan “mereka.” Karena itu, persahabatan, apalagi persahabatan sejati yang masih ada, pantas dirayakan.

Sebab, kata Emmanuel Levinas (1906-1995) filsuf Prancis tujuan persahabatan adalah transformasi diri. Membangun persahabatan dengan yang lain selalu berarti membangun relasi etis.

Transformasi diri itu membuat orang  yang egoistik menjadi orang yang solider, dari orang yang totaliter menjadi orang yang lebih bersahabat. Dengan kata lain, bisa dikatakan, tujuan persahabatan adalah tanggung jawab etis terhadap kehadiran yang lain.

Mau menerima yang lain, tanpa pandang bulu dengan tulus ikhlas, dengan tangan terbuka lebar-lebar. Bukan sebaliknya, menafikan yang lain, yang berbeda dianggap musuh.

Itulah sebabnya, persahabatan merupakan hal yang tidak mudah untuk diwujudkan. Maka kata pepatah, mencari seorang sahabat bagaikan mencari permata di sebuah lumbung jerami yang besar.

Yang terjadi, seringkali persahabatan yang dibangun tidak dilandasi oleh ketulusan  tetapi sarat dengan kepentingan diri sendiri. Sebenarnya itu bukanlah persahabatan, apalagi persahabatan sejati. Melainkan perkawanan yang didasarkan atas kepentingan; semacam persahabatan politik.

Dalam politik, seperti kata Lord Palmerston, perdana menteri Inggris pada abad ke-19, tidak ada kawan dan lawan yang abadi kecuali kepentingan. Itulah watak politik. Itulah tabiat politik. Maka perkawanan atau kalau disebut persahabatan pun, akan seperti itu.

Politik memang penuh dengan unsur kepentingan di dalamnya. Dalam politik, mana yang menguntungkan mana yang merugikan, akan selalu dipertimbangkan. Mengapa partai-partai politik berkoalisi seperti sekarang ini untuk menghadapi Pilpres 2024? Karena mereka memiliki kepentingan yang sama.

Mengapa para ketua parpol bersafari untuk bertemu? Untuk mencocokkan kepentingan mereka. Sekarang, hari-hari ini, banyak politisi yang bersuara (lantang lagi) mengomentari sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dikomentari, sekadar untuk mencocokkan, menyenadakan suara mereka dengan suara kelompok tertentu yang menjadi sasarannya.

Tidak peduli suaranya sumbang atau tidak, bermutu atau tidak, terdengar bernalar atau tidak. Kepentingannya apa? Cari dukungan, cari simpati, cari massa, kan ini jelang pemilu.

Apakah itu akan abadi? Ya, tidak! Mereka kan politisi, jadi ya berpolitik. Dan, dalam berpolitik hukum besi politiklah yang berlaku seperti kata Palmerston: tidak ada yang abadi, kecuali kepentingan. Kepentingan adalah hal yang selalu dan akan selalu ada baik dalam kawan maupun lawan.

Maka, bukan hanya terkadang tetapi kerap terjadi lawan juga bisa menjadi kawan ketika ternyata terjadi kecocokan kepentingan atau sebaliknya kawan menjadi lawan, karena beda kepentingan. Praktik semacam itu terjadi nyata di panggung politik di mana saja, juga di negeri ini. Apakah kita pernah membayangkan bahwa yang bertarung sengit pada Pilpres 2019, kemudian bersatu?

Kepentingan. Itu kata kuncinya. Itulah yang abadi. Kepentingan adalah sesuatu yang sangat melekat pada kawan dan lawan. Dengan kata lain,  kepentingan tidak mengenal yang namanya kawan atau lawan karena kepentingan selalu ada dimanapun berada dan di waktu kapanpun.

*

Maka, benar yang dikatakan Romo Sindhu bahwa persahabatan�"apalagi sekarang ini�"harus dirayakan. Karena persahabatan adalah sesuatu yang langka. Terutama persahabatan sejati yang tidak didasarkan pada kepentingan diri sesaat. Sebab, persahabatan bukan sekadar mengenal seseorang, di atas segalanya. Tetapi, persahabatan adalah persatuan kehendak; kehendak untuk tujuan baik.

Persahabatan sejati tidak didasarkan pada syarat- syarat yang berubah-ubah; seperti persahabatan politik, yang bersyarat-syarat, yang berdasarkan kepentingan (entah itu kepentingan golongan, kepentingan kelompok, kepentingan suku, agama, maupun etnis, kepentingan identitas, dan sebagainya).

Maka, kita sekarang hanya bisa mengenang sekaligus cemburu pada persahabatan sejati para Bapak Bangsa yang mendirikan republik ini. Kata Buya Ahmad Syafii Maarif (2009), “Betapa seorang Natsir atau Prawoto Mangkusasmito begitu dekat dengan Ignatius Joseph Kasimo, Herman Johannes, Albert Mangaratus Tambunan, atau Johannes Leimena, baik pada masa revolusi kemerdekaan maupun sesudahnya. Atau antara Burhanuddin Harahap dengan Ida Anak Agung Gde Agung yang Hindu. Kasimo bahkan bersama tokoh Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) mencoba melawan sistem politik otoritarian Soekarno pada era demokrasi terpimpin (1959-1966).”

Baik Natsir, Kasimo, Leimena adalah tokoh-tokoh penting dari kelompok agamanya masing-masing. Mohammad Natsir yang berasal dari Minangkabau di tahun 1950-an adalah petinggi Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Masyumi adalah partai Islam terbesar di zaman Soekarno

Semua itu adalah sejarah. Semestinya historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan. Tetapi, pernahkan kita, bangsa ini berguru pada sejarah atau malahan menganggap sejarah hanyalah kisah masa lalu yang harus dilupakan?

Di Omah Petroek, persahabatan seperti yang dulu dihidup-hidupi para Bapak Bangsa, seperti hadir kembali, ketika semua yang hadir tanpa kecuali, siapa pun mereka, apa pun latar belakangnya, warna apa pun identitasnya bergembira bersama.

Di Omah Petroek ketika Bulan bulat menjelang Waisak membiarkan sinarnya menyelimuti Desa Wonorejo, persahabatan itu dirayakan. Semua ikut merayakan persahabatan, tidak ada pembedaan warna “baju” yang mereka kenakan.

Perayaan itu terasa sebagai sebuah kemewahan di tengah retak-retaknya dinding persahabatan antaranak bangsa di  negeri, di tengah mulai putusnya di sana-sini benang tenun kebangsaan, dan di tengah mulai mengentalnya semangat politik identitas yang secara sengaja dimainkan untuk kepentingan kekuasaan.

Maka, benar kata orang, “teman tertawa memang banyak, tetapi teman menangis sangat sedikit,” di zaman sekarang ini. Karena ada kecenderungan orang dianggap sebagai sahabat hanya ketika memiliki kepentingan yang sama dengan dirinya sendiri, bukan kepentingan bersama. Apalagi kepentingan Bangsa. Orang dianggap sahabat bila “warna baju”-nya sama.

….Selamat Merayakan Persahabatan, Romo Sindhu….rmol news logo article

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA