Tapi sesungguhnya dia pohon zaitun istimewa. Kira-kira begitu kesimpulan dari kisah yang disampaikan Ahmed Benattia,
tour guide yang memandu perjalanan kami di Katedral-Masjid Cordoba, Andalusia.
***
Di masa yang silam kata Andalusia merujuk seluruh Semenanjung Iberia, sayap kiri Eropa yang berada persis di seberang utara Afrika.
Sementara kini, Andalusia merupakan salah satu
Autonomous Community di Kerajaan Spanyol. Ada delapan provinsi di Komunitas Otonom ini, yakni Almeria, Cadiz, Cordoba, Granada, Huelva, Jaen, Malaga, dan Seville yang sekaligus ibukota Andalusia.
Dalam perjalanan ke Cordoba dan Granada kemarin, sejak melewati La Mancha sejauh mata memandang yang tampak adalah hamparan kebun zaitun.
Minyak zaitun yang merupakan salah satu komoditas dan sumber pendapatan utama Kerajaan Spanyol memang terkonsentrasi di Andalusia.
Negro oro. Emas hitam. Itu gelar yang diberikan untuknya.
Menurut catatan Dewan Zaitun Internasional dari total produksi zaitun dunia di tahun 2019-2020 sebesar 3,2 juta ton, Spanyol menyumbang sebesar 1,12 ton.
Di tempat kedua Portugis (336 ribu ton), disusul Tunisia (350 ribu ton) di tempat ketiga, dan seterusnya Yunani (275 ribu ton), Turki (225 ribu ton), Maroko (145 ribu ton), dan Italia (140 ribu ton).
Di Guarroman, Provinsi Jaen, kami sempat berhenti sebentar di sebuah fasilitas pemrosesan zaitun.
Pabrik ini memproduksi minyak zaitun dan derivasinya dengan merek Almazara Saturnino Arias.
Seorang petugas wanita menyambut dan membawa kami berkeliling pabrik. Dari tempat pengumpulan buah zaitun, ke instalasi pemerasan, sampai sebuah ruang "harta karun" yang berisi beberapa tong raksasa yang menampung minyak zaitun murni.
***
Pohon zaitun di halaman Katedral-Masjid Cordoba yang diceritakan Ahmed memang tampak berbeda. Ia jauh lebih tua. Batangnya jauh lebih besar. Sementara daunnya tak dapat dikatakan rimbun lagi.
Pohon zaitun istimewa ini berada di sisi kolam yang tak jauh dari menara yang sekaligus gerbang utama ke komplek katedral. Pagar besi melingkar hampir setinggi dada mengelilingi pohon zaitun ini.
"Usianya hampir 800 tahun," kata Ahmed.
"Ini adalah Muslim terakhir di Cordoba. Setiap kali ke sini, saya selalu mengucapkan salam untuknya," masih cerita Ahmed.
Saya dan beberapa anggota Komisi VIII DPR RI yang mendengarkan cerita Ahmed serentak berucap: Assalamualaikum.
"Sebelum pohon zaitun ini benar-benar mati, beberapa tahun lalu mereka menanam anaknya," kali ini Ahmed menunjuk satu batang pohon zaitun yang masih kurus. Sudah cukup tinggi namun tampak jauh lebih muda. Juga di dalam pagar yang sama.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol, Muhammad Najib, yang ikut memandu kunjungan kami ke Katedral-Masjid Cordoba memberikan penjelasan tambahan.
Katanya, istilah “Muslim terakhir di Cordoba†untuk menjelaskan bahwa Islam tak benar-benar hilang dari Cordoba setelah direbut penguasa Castile, Raja Ferdinand III, tahun 1236.
Najib bukan dutabesar biasa. Ia pernah bertugas sebagai anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN), dan penulis novel yang cukup produktif.
Sejak memulai tugas di Spanyol bulan November tahun lalu, Dubes Najib telah menyelesaikan dua novel tentang perkembangan dan kehancuran peradaban Islam di Spanyol. Pertama "
Di Beranda Istana Alhambra" dan kedua "
Andalusia: Jembatan antara Timur dan Barat".
"Ini bahasa kias. Masjid Cordoba adalah bukti penting tentang kebesaran Islam di masa lalu. Sekaligus bukti kegagalan yang diakibatkan oleh nafsu berkuasa dan konflik berkepanjangan di antara kelompok-kelompok kepentingan yang orientasinya sempit," ujarnya.
Masyarakat Muslim Spanyol pasti tidak ingin dikatakan hilang dari Spanyol. Barangkali, secara fisik mereka memang pernah hilang selama sekitar 600 tahun. Tapi jiwa mereka masih di sini, disimbolkan dengan pohon Zaitun di halaman Masjid Cordoba.
Pengaruh sufi di tengah masyarakat Muslim asli Spanyol, yang bukan imigran, masih sangat kuat. Pengharuh sufistik yang kuat ini juga dapat ditemukan di tengah masyarakat Muslim di Sevilla dan Granada kini.
"Kita perlu pelajari sebab-sebab kehancuran umat Muslim di sini agar tidak mengulangi kesalahan yang sama," demikian Dubes Najib.
BERITA TERKAIT: