Sawit memperoleh konsesi lahan dalam jumlah sangat luas. Lebih dari 13 juta hektare. Luas lahan sawit 21 kali luas Pulau Bali. Dialokasikan kepada perusahaan-perusahaan swasta milk para raja sawit; oligarki kelas atas di Republik ini.
Bisnis ini mendapatkan subsidi lebih dari Rp 40 triliun dari uang negara. Bisnis yang telah dicap sebagai biang kerok kerusakan hutan tropis nomor satu di dunia, malah mendapatkan subsidi dari uang negara. Padahal uang tersebut cukup untuk mencicil upaya pemulihan hutan hutan yang mereka hancurkan.
Tidak hanya subsidi langsung, para bandar sawit juga mendapatkan subsidi harga yang diperoleh dari pembelian wajib yang ditetapkan dengan regulasi. Pembelian mandatari oleh negara dilakukan dengan memaksakan pencampuran 20 persen ke 30 persen hingga penggunaan penuh sebagai bahan bakar pengganti solar. Alasannya: bauran energi.
Menjadikan sawit sebagai bahan bakar terbarukan tidak masuk akal dari sisi lingkungan hidup. Tidak sebanding dengan lingkungan yang mereka hancurkan yang menjadikannya sebagai bahan bakar.
Tak hanya itu, sawit ini bahan makanan. Mengubahnya menjadi bahan bakar di sebuah negeri di mana penduduknya sebagian masih menggoreng dengan minyak jelantah karena kemiskinan mereka adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Menjadikan sawit sebagai tumpuan energi terbarukan adalah cara licik untuk menguras kantong PT Pertamina. Perusahaan ini dipaksa membeli fame sawit dan mendistribusikannya sebagai solar subsidi yang ongkosnya ditalangi terlebih dahulu oleh Pertamina.
Bagian yang paling dinikmati para bandar sawit ini adalah keharusan Pertamina untuk membeli sebagai campuran B30. Sebanyak 9 juta ton fame telah membawa solar diesel sebagai bahan bakar dengan konsumsi paling besar, yakni 30 juta kilo liter.
Sebanyak 16 juta kilo liter solar subsidi ditanggung dan disalurkan Pertamina. Hal ini menyebabkan kantong Pertamina jebol. Saat bandar sawit kehilangan pasar di Eropa, mereka mendapatkan pasar empuk lewat Pertamina.
Sedangkan tunggakan subsidi solar, yang menjadi utang paling besar pemerintah kepada Pertamina, entah kapan dibayar. Mereka para bandar ini mau menjajah Indonesia sampai kapan?
Jadi, singkat cerita, menjadi bandar sawit di Indonesia adalah nikmat paling besar. Mereka mendapatkan hutan dan kayu, mendapatkan lahan, pasar, dan subsidi. Bahkan mendapatkan citra sebagai penyedia bahan bakar terbarukan.
Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia.
BERITA TERKAIT: