Bahan-bahan untuk penataran, debat, pelatihan, dan kurikulum pengajaran benar-benar disiapkan dan diulang-ulang. Tiga puluh tahun lamanya, generasi ini mengalami itu, dan berakhir tahun 1998.
Namun, hembusan angin telah mengubah atmosfir kita: gampangnya mendirikan partai baru, kebebasan mengungkap pendapat, dan ramainya persaingan ideologi di ruang publik.
Dulu, pernyataan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka sepertinya sengaja ditekan untuk menyamarkan bahwa tafsir itu satu arah: kepentingan stabilitas dari atas ke bawah.
Saat ini, Pancasila benar-benar terbuka, hingga hampir semua kita melupakan bahwa kita mempunyai Pancasila. Sekarang, Pancasila hanya menjadi menu sampingan pendidikan.
Mungkin bagi generasi saat ini berbicara tentang Pancasila terasa monoton dan membosankan. Dulu mungkin juga begitu, tetapi karena propaganda diulang-ulang hingga menjadi kebiasaan. Kita terbiasa dengan doktrin.
Berbicara ideologi, dari sisa-sisa musim pertentangan ideologi dari Perang Dunia Dua, hanya kapitalisme yang hidup terus. Kenapa ideologi yang lain tidak bertahan, karena tertutup atau mungkin tidak bisa beradaptasi.
Komunisme di Uni Soviet runtuh, dan meninggalkan Rusia. Tembok yang membelah Jerman menjadi dua runtuh tiga dasawarsa lalu. Jerman telah menyatu.
Negara-negara Balkan memilih nasibnya sendiri, daripada memegangi doktrin tertutup dan kaku.
Amerika Latin bisa dikatakan sudah memodifikasi faham komunismenya, atau lebih tepatnya menjadi sosialisme. Keduanya berbeda. Hanya Kuba yang istiqomah memegangi faham itu hingga kini.
Sementara China satu-satunya negara kuat, namun telah modifikasinya lebih menyerupai kapitalisme, karena negara tirai bambu itu memasarkan produk-produknya di seluruh dunia. Persaingan sains dan teknologi yang sengit, China berada di garda depan.
Adaptasi telah menjadikan komunisme kawin dengan ideologi pasar bebas, persaingan global, dan pengembangan sains dan teknologi. Itulah China, tempatnya panda, kungfu, makanan berbasis mie, dan produk-produk murah terjangkau.
Sejauh mana Pancasila dibuka tafsirnya, sebagaimana perjalanan pasar bebas yang terus memodifikasi diri?
Kapitalisme bertahan karena adaptasi dan hampir bukan ideologi. Apapun yang bisa dijual dan laku di pasar akan menang dalam kompetisi bebas.
Pernik-pernik agama, spiritualitas, teknologi, pendidikan, penelitian, tontonan, seni, film, arsitektur, sebut saja apa yang ada di dunia saat ini.
Semua tidak lepas dari kehendak persaingan dan saling menjual. Itu adalah manusiawi, karena pada dasarnya manusia mempunyai watak alamiah bermain dan bersaing.
Kapitalisme memberi tempat itu. Sedangkan komunisme berusaha merenggut kepemilikan individu dan menghilangkan watak dominasi kelompok tertentu, ternyata itu utopis.
Tetapi di negara-negara maju, seperti Amerika, kritik terhadap kapitalisme menggunakan logika sosialisme. Bagaimana hak-hak orang yang tidak bisa bersaing? Bagaimana memberi tempat bagi mereka yang terpinggirkan?
Tidak semua bisa masuk pasar. Eropa tempat lain yang lebih ketat, karena beberapa negara masih mengindahkan kemakmuran warga yang kurang beruntung, seperti manula dan suntikan dana bagi yang tidak bekerja. Kanada pun masih memegangi prinsip solidaritas itu.
Generasi awal pendiri bangsa ini, seringkali mengkritisi kapitalisme, sebagai pendorong motif penjajahan. Para pendiri bangsa ini menyaksikan dan mengalami sisi buruk dari pasar bebas.
Bagaimana tidak, perusahaan (kompeni) menguasai bangsa-bangsa lain dan mengatur para sultan di Nusantara. Rempah-rempah dan produk lain dibawa ke pasar Eropa dengan keuntungan masuk pada perusahaan dan orang-orang kaya di sana.
Sementara di sini, para petani menanam lada, cengkeh, pala, kayu manis, kopi, tebu, cengkeh dan lain-lain tetap menderita. Kritik sosialisme sering dipinjam para pemimpin kita waktu itu. Rakyat Nusantara adalah proletar, atau bahkan sering dikatakan sebagai perahan bagi pasar Eropa.
Di dalam Pancasila, karena dilahirkan oleh generasi pembebas bangsa terdapat kritik terhadap pasar bebas. Kritik terhadap monopoli, yang itu adalah sumber dari para pelancong Eropa pergi ke benua lain.
Sila kelima tentang keadilan jika kita tanyakan pada generasi awal tentu akan menjelaskan sejarah ketidakadilan. Ketidakadilan itu tidak hanya berlaku di dalam bangsa antar individu, antar perusahaan, antar desa, antar kecamatan, antar kabupaten, antar provinsi, atau antar kelas.
Ketidakdilan itu juga antar bangsa, sebagaimana dirasakan oleh para pembebas bangsa yang ingin melihat berdirinya negara baru diberi nama Republik Indonesia ini.
Namun, di dalam Pancasila, dan terutama di dalam sejarah Pancasila terdapat dialektika sejarah. Para pendiri bangsa kita banyak yang membaca filsafat, terutama gagasan filosof Jerman Hegel.
Menurut filsafat itu, terdapat siklus alami dalam sejarah. Adanya thesa (gagasan awal) melahirkan anti-thesa (kritik terhadap tesa). Lalu lahirlah sinthesa (kompromi antara gagasan awal dan kritik terhadap gagasan).
Era awal peletakan dasar jatidiri bangsa mungkin terlalu ditarik ke arah kerakyatan. Anti-thesanya adalah gagasan pasar bebas.
Masa kuatnya tekad peletakan dasar terkesan tertutup dan kritik terhadap kapitalisme kuat. Runtuhnya percobaan itu disusul dengan ajakan kerjasama dengan negara adidaya.
Namun, keterbukaan itu ternyata melahirkan ketertutupan tafsir Pancasila. Maka lahirlah reformasi ini untuk membuka tafsir baru, yang kita masih harus sabar menunggu kemunculannya.
Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga
BERITA TERKAIT: