Presiden Jokowi mengatakan bahwa keputusannya itu diambil setelah mendapat masukan dari banyak ulama dan tokoh-tokoh ormas dan lembaga-lembaga Islam yang menolak pengaturan tentang investasi pabrik pembuatan miras itu. Penolakan itu wajar mengingat negeri ini adalah negeri mayoritas muslim yang meyakini bahwa minuman beralkohol adalah terlarang atau haram untuk dikonsumsi.
Keyakinan keagamaan yang dianut oleh mayoritas rakyat, memang wajib dipertimbangkan oleh negara dalam merumuskan kaidah hukum dan kebijakan yang akan diberlakukan. Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kita bukan negara sekular yang tidak mempertimbangkan faktor keyakinan keagamaan dalam membuat norma hukum dan kebijakan-kebijakan negara.
Di Philipina, yang konstitusinya tegas mengatakan negara itu adalah negara sekular, faktor keyakinan keagamaan rupanya tetap menjadi pertimbangan negara dalam membuat norma hukum dan merumuskan suatu kebijakan.
Sahabat baik saya, Gloria Arroyo Macapagal dari Partai CMD (Christian-Muslim Democrat) ketika menjabat sebagai Presiden Philipina telah memveto pengesahan RUU tentang Kontrasepsi yang telah disetujui Senat Philipina. Pertimbangannya hanya satu: Gereja Katolik Philipina menentang Keluarga Berencana yang dianggap tidak sejalan dengan doktrin keagamaan.
Kalau di negara yang mengaku sekular, ternyata pertimbangan keagamaan tetap penting, maka negara yang berdasarkan Pancasila seharusnya berbuat lebih dari itu: Keyakinan keagamaan wajib dipertimbangkan dalam negara merumuskan kebijakan apapun.
Langkah seperti itu tidak otomatis menjadikan Negara Republik Indonesia ini menjadi sebuah Negara Islam. Negara RI ini tetap menjadi sebuah negara yang berdasarkan Pancasila. Negara wajib mempertimbangkan keyakinan keagamaan rakyatnya dalam membuat norma hukum dan merumuskan suatu kebijakan.
Negara juga berkewajiban memfasilitasi dan memberikan pelayanan terhadap pelaksanaan ajaran-ajaran agama, bukan hanya Islam, tetapi semua agama yang hidup dan berkembang di negara ini sejauh memerlukan peran dan keterlibatan negara dalam melaksanakannya.
Dalam Perpres yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan investasi ini, Pemerintah seperti “keseleo lidah†dengan memberikan kemudahan investasi pabrik pembuatan miras, baik PMDN maupun PMA. Asing boleh membuka pabrik dengan modal 100 persen PMA. Begitu juga PMDN.
Sebelum Perpres ini, investasi di bidang miras ini dinyatakan tertutup. Dengan Perpres ini dinyatakan terbuka untuk investasi. Daerah yang dibuka untuk investasi ada di tiga provinsi, Bali, Sulawesi Utara, dan Papua. Daerah lain boleh juga, asal diajukan oleh Gubernur kepada Kepala BKPM.
Ini berarti peluang untuk membuka pabrik miras bisa berdiri di mana saja asal diusulkan melalui Gubernur ke Pemetintah Pusat. Keruan saja, pengaturan dalam lampiran Perpres ini mendapat penolakan dari daerah-daerah yang pengaruh Islamnya sangat kuat.
Lebih jauh daripada itu, lampiran Perpres ini juga membuka investasi untuk penjualan miras. Dalam Lampiran 3 angka 44 dan 45 diatur mengenai dibukanya investasi Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol dan “Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkoholâ€. Persyaratannya hanya mengatakan “Jaringan distribusi dan tempatnya khususâ€.
Saya menganggap pengaturan ini keterlaluan. Masa Pemerintah mempermudah investasi perdagangan eceran kaki lima minuman keras baik bagi PMA maupun PMDN. Untuk apa ada Penanaman Modal Asing untuk jualan miras di kaki lima? Padahal, perdangan miras seperti ini justru berbahaya bagi kehidupan masyarakat dan semestinya dilarang.
Penjualan miras di kaki lima seperti ini harusnya dinyatakan tertutup dan diatur dengan Perpres tersendiri, bukan dalam Perpres tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Saya mengakui bahwa dalam masyarakat yang majemuk seperti kita, ada warga yang menurut keyakinan agamanya meminum miras bukan sesuatu yang dilarang. Sebagaimana halnya memakan daging babi adalah haram bagi umat Islam, bagi penganut agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu makan daging babi adalah “halal†dan bukan sesuatu yang “haram†atau terlarang sebagaimana keyakinan umat Islam.
Terhadap warganegara dan penduduk yang menganggap miras atau daging babi itu bukan sesuatu yang haram, maka negara juga harus melindungi dan memfasilitasi kepentingan mereka. Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pemeluk Islam, tentu tidak dapat diberlakukan kepada pemeluk-pemeluk agama lain. Demikian pula sebaliknya.
Saya kira, di negara yang berdasarkan Islam pun, pengaturan bagi kepentingan pemeluk-pemeluk agama selain Islam, akan tetap ada. Hak-hak warganegara non Muslim wajib dilindungi dan dijamin oleh negara yang berdasarkan Islam.
Saya kira di negara berdasarkan Pancasila ini hal seperti itupun ada dan dalam praktik telah dilaksanakan, walau masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan disempurnakan. Di pasar tradisional kita di berbagai daerah, biasanya ada kounter khusus untuk menjual daging babi yang diberi tulisan khusus untuk itu. Tempatnya dibuat sedemikian rupa, nyaman dan tidak mengganggu umat Islam yang tentu tidak ada kepentingannya untuk mampir ke kounter tempat menjual daging babi itu.
Pengaturan tentang miras pun bisa seperti di atas. Peternakan babi tentu boleh, tetapi dinyatakan tertutup untuk investasi kecuali dengan syarat-syarat tertentu, tempatnya khusus dan tunduk pada syarat-syarat tertentu yang ketat sehingga tidak menimbulkan kericuhan antarwarga. Begitu juga investasi pabrik miras harusnya dinyatakan tertutup untuk investasi, kecuali dengan syarat-syarat tertentu.
Selain soal investasi, pengawasan ketat terhadap perdagangan miras harus diperketat. Semestinya, jangankan membuka investasi penjualan miras di kaki lima, menjual miras di kaki lima saja harus dilarang, bukan dipermudah seperti pengaturan dalam lampiran Perpres ini seperti telah saya katakan di atas.
Syukurlah ketentuan-ketentuan tentang kemudahan investasi pabrik pembuatan dan perdagangan miras dalam Perpres No 10 Tahun 2021 cepat dicabut dan dihilangkan oleh Presiden Jokowi. Sekali ini Presiden Jokowi cepat tanggap atas segala kritik, saran dan masukan.
Presiden Jokowi biasanya memang tanggap terhadap hal-hal yang sensitif, sepanjang masukan itu disampaikan langsung kepada beliau dengan dilandasi iktikad baik.
Ketentuan-ketentuan lain yang diberi kemudahan investasi dalam Perpres No 10 Tahun 2021 nampaknya tidak mengandung masalah krusial dan serius. Sebab itu tidak ada urgensinya untuk segera direvisi.
Setelah pernyataan pencabutan hari ini, Presiden tentu harus menerbitkan Perpres baru yang berisi perubahan atas Perpres No 10 Tahun 2021 ini, khusus menghilangkan ketentuan dalam lampiran terkait dengan miras. Dengan perubahan itu, maka persoalan pengaturan investasi miras ini dengan resmi telah dihapus dari norma hukum positif yang berlaku di negara kita.
Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang, Advokat Senior, Pakar Hukum Tata Negara