1. Data kemiskinan di Indonesia tidak pasti. Masing masing institusi berbeda angka tentang kemiskinan. Sangat tergantung kepentingan masing masing institusi.
2. Angka kemiskinan di kemensos didasarkan pada proposal proyek kemiskinan mereka ke internasional dan ke APBN, demikian juga dengan angka kemiskinan pemda disesuikan dengan proposal pengentasan kemiskinan mereka. Angka kemiskinan bisa dibesar-besarkan.
3. Angka kemiskinan versi BPS bermasalah. BPS melakukan trik memainkan indikator kemiskinan. BPS menggunakan indikator
extreme poperty dalam mengukur kemiskinan. Akibatkan angka kemiskina BPS terus menurun dan kecil, meski keadaan ekonomi memburuk.
4. Tidak ada angka kemiskinan
by name by address di lembaga pemerintah, jadi pemerintah akan kesulitan alokasikan anggaran dalam pendistribusian subsidi tertutup.
5. Distribusi tertutup rawan dikorupsi oleh birokrasi melalui praktik manipulasi data. Dalam kasus dana desa saja bisa ada desa hantu. Apalagi distribusi gas.
6. Tidak ada kajian akademis yang melandasi rencana ini. Pemerintah terkesan terburu-buru dalam mengurangi subsidi. Dasar yang dijadikan acuan adalah "karangan bebas" pihak-pihak dari ESDM.
7. Pemerintah tidak melibatkan ormas, akademisi, pengamat, ahli, dan kalangan dunia usaha dalam memutuskan perkara ini. Sehingga rawan penolakan dan penyimpangan.
8. Menjelang pilkada serentak, penyaluran subsidi LPG secara tertutup rawan dimanfaatkan oleh oligarki penguasa untuk sumber daya
money politics untuk memenangan kawan-kawannya.
9. Belajar dari sebelum-sebelumnya, model distribusi tertutup selalu gagal, dan menjadi alat kekuasaan untuk
money politics dan gagal memberi rasa keadilan bagi orang miskin.
Penulis adalah peneliti senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
BERITA TERKAIT: