Pengusaha besar mengembangkan bank umum (yang modalnya memang besar) dan karena itu diizinkan beroperasi secara nasional di seluruh wilayah Indonesia, bisa menjadi bank devisa maupun bank persepsi.
Sementara pengusaha kecil diberi kesempatan untuk mengembangkan perbankan dengan modal kecil dan untuk melayani debitur (peminjam) kecil, yaitu bank perkreditan rakyat (BPR) dan bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) yang wilayah operasinya hanya sebatas provinsi.
Bank umum melayani nasabah besar, yang bankable, sedangkan BPR/BPRS melayani debitur yang umumnya tidak bankable, seperti pedagang kecil dipasar tradisionil, atau penjual gorengan dipinggir jalan atau pedagang kaki lima (PKL), dan ada yang bayarnya kembali ke BPR secara harian. Itupun di jemput kepasar oleh petugas BPR/BPRS.
Sama dengan bank umum, BPR/ BPRS juga diawasi ketat oleh Bank Indonesia (BI) atau kini oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) termasuk permodalan dan direksi atau pengurusnya. Bahkan untuk bank yang bersyariah, kepengurusannya harus dilengkapi dengan Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang kesemuanya harus di setujui oleh OJK.
Dalam perjalanannya, konsensus pembagian lahan rezeki tadi dilanggar ketika diera reformasi bank bank umum diizinkan menjalankan micro banking yang hakekatnya adalah memasuki lahan BPR/BPRS, bahkan dengan wilayah atau cakupan operasinya secara nasional. Pemilik BPR-BPRS sebenarnya kecewa saat bank bank umum memasuki wilayah mereka yaitu micro banking, tapi tidak ada yang bisa dilakukan kecuali pasrah.
BPR dan BPRS juga mendapatkan saingan langsung dari berbagai program perkreditan pemerintah seperti KUT, KUR, kredit candak culak, program Persero PMN dll. BPR-BPRS memahami dan ikhlas dengan persaingan itu demi kesejahteraan rakyat kecil.
Padahal pangsa pasar BPR-BPRS masih amat amat kecil dibandingkan pangsa pasar bank bank umum.
Karena persaingan dan mismanagement, BPR dan BPRS terdesak dan terpuruk tapi masih bertahan meski tidak sedikit yang bankrut. BPR /BPRS merasa bantuan dan perlindungan terhadap mereka tidak sebanyak seperti kepada bank umum yang bisa menikmati BLBI. Keluhan yang paling utama BPR-BPRS adalah proses pengesahan saham dan Pengurus mereka oleh OJK lama sekali. Sering membuat mereka frustasi dan kerepotan. Sangat tidak sejalan dengan semangat Presiden Jokowi yang menginginkan pelayanan serba cepat. Tidak sedikit calon investor BPR/ BPRS yang mengundurkan diri karena lambannya proses di OJK. Konon tidak secepat proses yang sama untuk bank umum.
Yang membedakan bank umum dan bank syariah adalah yang pertama beroperasi berdasarkan riba sedangkan bank syariah menolak riba karena prinsip syariah adalah mengharamkan riba. Orang islam yang ke bank syariah adalah mereka yang anti riba karena alasan ajaran atau tuntunan agamanya.
Jumlah mereka yang anti riba kian membesar sehingga bank bank umum termasuk bank negara beramai ramai mendirikan bank syariah untuk menangkap pangsa pasar ini. So far so good, semua berjalan baik dan mulus.
Kini, tidak ada angin atau hujan tiba tiba para taipan yang biasa hidup didunia riba mendirikan Menara Syariah berlokasi di Pantai Indah Kapuk (PIK).
Seorang emak tokoh Majelis Taklim bertanya kepada saya bagaimana hukumnya bila bisnis syariah dimiliki oleh mereka yang non muslim dan biasa berbisnis atas dasar riba?
Dan bagaimana hukumnya orang islam yang berbisnis “syariah†dengan non muslim yang biasa bergelut dengan riba; yang kemungkinan besar modalnya juga dari hasil bisnis riba.
Jujur saya tidak punya kepasitas menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut. Saya rasa itu tugas MUI dan para ulama syariah maupun ormas ormas islam. Monggo dijawab, ini soal riil yang dihadapi umat, jangan dibiarkan tersesat, atau menjadi bola liar.
Terima kasih.
Penulis adalah mantan Menteri Keuangan
BERITA TERKAIT: