Meskipun ada juga sebagian kecil dari anak bangsa yang meragukan orisinalitas kisah penculikan dan pengguguran para pahlawan revolusi, sebagaimana pernah ditayangkan dalam film G 30S/PKI, namun sesungguhnya kebenaran akan peristiwa itu masih bisa kita cari jawabannya dari keterangan para saksi sejarah. Para saksi sejarah yang masih hidup memiliki kunci jawaban dari adanya keraguan atau pertanyaan-pertanyaan yang muncul terkait benar atau tidaknya gerakan kudeta yang dilakukan oleh PKI pada masa itu.
Terlepas dari masih adanya pihak-pihak yang mempersoalkan peringatan G 30 S/PKI, namun bagi kita yang telah memperoleh informasi dari berbagai sumber, baik dari bangku pendidikan maupun media massa yang ikut menyertakan keterangan para saksi sejarah, maka peringatan akan trgaedi itu menjadi hal yang penting.
Peringatan G 30 S/PKI seyogyanya bukan hanya menjadi ritualitas untuk mengenang gugurnya para pahlawan revolusi dan kekejaman PKI ketika mereka berupaya melakukan kudeta politik, tetapi lebih dari itu kita perlu memahami peringatan itu sebagai pembelajaran politik bahwa PKI juga pernah berupaya untuk menanamkan dan memperkuat ideologi komunis di Indonesia dan menggeser secara perlahan ideologi Pancasila.
PKI dan Radikalisme KiriIdeologi komunis dalam kancah perpolitikan merupakan bagian dari ideologi sayap kiri, ideologi ini lahir dari adanya gagasan Karl Marx yang menentang segala bentuk penindasan atas kaum buruh atau proletar oleh para pengusaha dan penguasa. Marx melihat penerapan paham liberal dan kapitalis hanya menciptakan adanya keterasingan kaum proletar, disisi lain kapitalisme justeru hanya menguntungkan para kaum pemilik modal.
Dalam perjuangannya menentang kapitalisme atau kekuasaan yang mereka anggap sewenang-wenang kelompok komunis seringkali menggunakan cara-cara revolusi dengan kekerasan, termasuk bagaimana kemudian kelompok komunis berhasil melakukan revolusi di Rusia yang mengubah haluan negara itu menjadi ideologi komunis. Paca revolusi kemudian eksistensi komunis secara global tumbuh dan berkembang di Rusia - Uni Soviet, di negara inilah beberapa tokoh PKI kemudian juga pernah mendalami pemikiran komunis, seperti Semaun dan Musso.
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia eksistensi kekuatan politik kelompok komunis secara formal pernah diwadahi oleh PKI, dimana basis kelompok dari partai ini adalah kaum proletar rakyat petani. Sebagai partai politik, PKI diyakini memiliki afiliasi pergerakan yang sama dengan partai komunis di Uni Soviet (Rusia) dan China, hal ini terlihat dari tergabungnya PKI dalam keanggotaan Komunis Internasional (Komintern).
Sebagai partai komunis, pegerakan PKI juga dapat dikatakan bersifat revolusioner yang bertujuan untuk memperluas paham komunis, sehingga atas adasar sifatnya ini PKI termasuk kedalam kelompok radikalisme kiri. Penilaian ini setidaknya juga dapat dilihat dari gerakan-gerakan PKI, baik sebelum Pemilu 1955 maupun setelahnya.
Kontroversi seputar aktivitas PKI sebelum terjadinya tragedi 30 September 1965 juga pernah terjadi pada tahun 1948, dimana pada 18 September 1948 tokoh PKI bernama Muso meproklamasikan berdirinya Negara Republik Soviet Indonesia di Madiun dan melakukan aktivitas pemberontakan. Muso mengangkat dirinya menjadi Presiden dan Amir Sjarifuddin sebagai wakil presiden.
Adanya pemberontakan dan proklamasi Republik Soviet Indonesia yang dilakukan secara sepihak oleh tokoh PKI telah memberikan kerugian yang besar, sebab pada saat itu jatuh korban jiwa yang cukup besar. Pemerintah pada saat itu melalui TNI dari Divisi Siliwangi pada akhirnya berhasil mengambil alih Madiun dari PKI di tanggal 30 September. Meski tokoh-tokoh PKI yang memproklamasikan Negara Republik Soviet Indonesia dan melakukan pemberontakan kemudian di eksekusi dan beberapa mengasingkan diri ke China, namun pemerintah pada saat itu tidak menetapkan PKI sebagai partai terlarang sehingga partai ini tetap dapat beraktifitas seperti biasa dan mengikuti Pemilu tahun 1955.
PKI, Pemilu, dan Konfrontasi PolitikPemberontakan dengan kekerasan yang dilakukan oleh tokoh PKI di Madiun pada tahun 1948 tidak menjadikan PKI dilarang keberadaannya oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Soekarno. PKI pasca kejadian tahun 1948 di Madiun, yang kemudian ditinggal oleh seorang tokohnya yang di eksekusi pemerintah dan beberapa tokoh yang melarikan diri ke China, mencoba untuk memulai kembali kegiatannya.
Di tahun 1949 partai ini mencoba untuk merekonstruksi diri dan mengambil posisi sebagai partai nasionalis yang mendukung kebijakan anti-kolonialis yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno, sikap inilah yang kemudian membuat PKI kembali mendapat tempat di hati Soekarno. Sebagai partai yang pernah berlawanan dengan pemerintah dan pernah menciptkan tragedi politik tentu membuat para tokoh PKI harus bepikir dan bekerja keras untuk dapat menjadikan partai ini mampu bersaing dalam Pemilu 1955. Kerja keras dan gerakan bawah tanah yang mereka lakukan akhirnya mampu menjadikan partai ini menempati posisi ke empat, sekaligus menegaskan PKI sebagai salah satu partai terbesar di Indonesia disamping Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Nahdlatul Ulama (NU), sekaligus sebagai partai komunis terkuat selain partai komunis di Uni Soviet dan China.
Keberhasilan PKI menempati posisi ke empat dalam Pemilu 1955 dan adanya dukungan PKI kepada kebjakan Soekarno membuat PKI kembali mendapat tempat di dalam lingkaran kekuasaan, hal ini setidaknya terlihat dari slogan Nasakom yang dikemukakan oleh Presiden Soekarno. Pemberian peran kepada PKI sebagai mitra strategis dalam pemerintahan Soekarno, di sisi lain membuat beberapa kelompok meras tersaingi, seperti misalnya Masyumi dan kalangan militer.
Beberapa kelompok politik sayap kanan bahkan kemudian mendorong agar PKI dilarang, oleh sebab mereka melihat bahwa kebijakan Soekarno mulai di pengaruhi PKI condong ke "Timur" dan PKI menghendaki adanya angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani.
Posisi PKI yang semakin kuat pada kancah perpolitikan membuat kelompok militer dan kelompok partai politik maupun organisasi kemasyarakatan sayap kanan semakin khawatir dengan keberadaan PKI, disisi lain PKI juga bukan hanya semakin kuat dalam mempengaruhi kebijakan Soekarno tetapi juga mulai berani melakukan gerakan gerilya, menunjukan kekuatan ekstra-parleenternya dan mengambil tindakan politik yang kontroversial (kudeta). Langkah politik PKI dapat dibilang memiliki corak yang sama dengan gerakan kelompok ekstrem komunis lainnya, semisal adanya pemilihan untuk melakukan perubahan dengan menempuh jalan revolusioner yang disertai dengan kekerasan.
Ancaman Radikalisme KiriPKI mungkin secara kelembagaan telah mati pasca kejadian G30S, oleh sebab pada tahun berikutnya partai ini dinyatakan sebagai organisasi terlarang, namun tidak bisa dihindari bahwa pemikiran komunis merupakan suatu hal yang dapat terus hidup, terutama dalam ruang diskursus yang terbuka. Ruang publik dengan proses diskursus yang ada didalamnya memungkinkan seluruh orang untuk mendiskusikan berbagai ideologi, hal ini di satu sisi memberikan kesempatan yang baik kepada masayarakat untuk melakukan studi komparasi ideologi namun di sisi lain akan menjadi persoalan bila masyarakat belum mendapatkan edukasi ideologi yang baik. Seperti halnya gerakan radikalisme kanan yang berkembang dari adanya kajian-kajian, gerakan radikalisme kiri juga tumbuh dan berkembang dari adanya kajian-kajian baik yang bersifat terbuka maupun tertutup.
Apabila kita menganggap bahwa radikalisme kiri telah mati seiring dengan matinya PKI atau mulai berubahnya arah politik negara-negara komunis yang sudah mulai terlihat liberal, maka kita sesungguhnya kita telah menghilangkan early warning system. Perlu dipahami bahwa dalam konteks pergerakan ideologi tidak ada ideologi yang benar-benar mati, mereka tetap hidup dan memiliki pemikirnya di setiap masa. Oleh karena itu meskipun negara tidak boleh membatasi ruang berpikir dalam sebuah ruang diskusi ilmiah, tetapi negara dan masyarakat perlu berhati-hati atas potensi munculnya gerakan yang berideologikan kiri oleh sebab kita memilki pengalaman yang berharga dari adanya peristiwa yang digerakan oleh PKI.
Penulis: Yusa Djuyandi
Kepala Pusat Studi Keamanan Nasional dan Global, Universitas Padjadjaran.
BERITA TERKAIT: