Buku "
Lord of The Rim" By Sterling Seagrave mengatakan kunci sukses para taipan overseas adalah "
thick face & black heart".
Intinya Profesor Hendrajit ngga bisa membedakan terminologi Tiongkok, Tycoon dan Diaspora. Ketiganya dipukul rata dengan istilah "Cina".
Seperti banyak orang lain, Profesor Hendrajit taunya Tiongkok masih pegang Deng Xiao Ping Theory yaitu "
socialism with Chinese characteristics".
Deng Xiao Ping merevisi Maoism yang bertumpu pada "
socialist revolution in the agricultural pre-industrial society of China".
Salah satu variable dalam "
Socialism with Chinese characteristics" itu adalah modernisasi,
market economy dan memperkuat
productive forces.
Policy "
One country, two systems" ngga ada kaitannya dengan Tycoon dan diaspora. Seperti yang disambung-sambungin Profesor Hendrajit.
Policy itu adalah hasil kesepakatan Sino-British Joint Declaration terkait Hongkong dan
Sino-Portuguese Joint Declaration terkait Macau.
Sekarang masanya beda. Tiongkok mengadopsi "
Xi Jinping Thought" yaitu "
Socialism with Chinese Characteristics for a New Era".
Salah satu dari 14 policy dalam
Xi Jinping Thought adalah "
Establish a common destiny between Chinese people and other people around the world with a "peaceful international environment".
Point ini serupa dengan
philosophy Henry Ford yang berpikir mensejahterakan negara konsumen sehingga punya purchasing power membeli mobil-mobil Ford.
The fifth generation of Chinese Communist leaders sampai pada paradigma; Tiongkok hanya bisa sejahtera bila negara-negara di dunia lebih makmur.
Sehingga negara-negara itu punya purchasing power menyerap barang sekaligus sanggup memproduksi kebutuhan Tiongkok.
Atas dasar ini, Mega Project OBOR diinisiasi. Supaya mempermudah jalur distribusi barang.
Pihak yang paling siap mengeksploitasi pasar Tiongkok yang terbuka adalah taipan. Di Asia Pasific Rim ironisnya diaspora Tionghoa berkuasa sebagai Invisible Economic Imperium.
Padahal China
open-door policy tidak bersifat rasis. Kalo ngga percaya tanya kepada Konglomerat Dahlan Iskan yang punya
close-link dengan Beijing.
Sebagai
closing statements, Profesor Hendrajit menggunakan Sukarno, Pa Harto dan Kwik Kian Gie sebagai tameng pembenaran.
Sukarno tertekan kalangan radikal kanan. Setuju Program Benteng yang dipelopori Mr. Assaat dan Perdana Menteri Muhammad Natsir dari Masyumi.
Mereka berpendapat pengusaha Tionghoa itu anasir asing. Sedangkan Siauw Giok Tjan dari Baperki keras menyatakan bahwa pengusaha Tionghoa adalah
productive force yang harus dimanfaatkan untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia.
Menurut Benny G Setiono, penulis buku "
Tionghoa Dalam Pusaran Politik", program Benteng ini terkesan rasialis dan menjadi sumber korupsi. Kongkalikong antara pengusaha Pribumi dan Tionghoa disebut sebagai "Sistem Ali-Baba".
Program Benteng dinyatakan gagal tahun 1957. Ekonomi Indonesia malah terpuruk hingga akhirnya membuat Sukarno tumbang.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: