Indonesia jelas tidak lagi dilirik dan cenderung ditinggalkan investor. Pantesan target target yang dicanangkan pemerintah seperti investasi, pertumbuhan ekonomi, pariwisata dll tidak tercapai, kecuali inflasi yang masih terjaga.
Bersamaan dg itu, Bank Dunia menerbitkan Laporan tentang seriusnya hambatan birokrasi dan regulasi di Indonesia yang tidak investment friendly. Karena itu kami sendiri menyarankan agar pemerintah dengan sungguh sungguh, benar dan jujur melaksanakan program DEBIROKRATISASI DAN DEREGULASI. Bukan sekedar melakukan klaim reformasi dan modernisasi yang kenyataannya hanya membengkakkan lembaga dan ongkos atau beban terhadap APBN, tapi hasilnya, pada hemat kami, praktis nol besar. Lebih menyedihkan lagi program program reformasi dan modernisasi itu dibiayai dengan uang utang, tapi gombal belaka.
Selama 3 tahun masa pemerintahan Jkw (2015-2018) telah diterbitkan sekitar 6300 aturan baru yang umumnya menghambat perizinan dan tidak bersahabat dengan investor. Menurut laporan Bank Dunia itu, itulah sebabnya hanya sedikit perusahaan yang cabut dari China ( karena tekanan dan perang dagang dg Amerika Serikat) yang pindah ke Indonesia. Umumnya pindah ke Vietnam yang lebih kompetitif. Masih menurut Laporan Bank Dunia itu, di Indonesia, izin atau rekomendasi yang dalam aturan disebutkan maksimal selesai atau terbit dalam 5 (lima) hari, kenyataannya bisa makan waktu 6 (enam) bulan.
Tentulah praktek praktek buruk seperti ini amat merugikan pengusaha atau investor, dan otomatis menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Sumber sumber kebobrokan ini tentulah birokrasi sendiri dan motipnya biasanya “komersil†alias pungli. Itulah sebabnya 16 Paket Kebijakan Ekonomi yang cantik di permukaannya, namun tidak mampu di implementasikan dengan baik. Sehingga pemerintah sering disindir sebagai Ki Jarkoni, iso ngajar ning ora iso nglakoni, artinya bisa ngatur (bikin aturannya) tapi tidak bisa menjalankannya. Dan ketika diungkapkan kegagalan pemerintah dalam mengimplementasikan aturannya sendiri, biasanya tim ekonomi ini berlagak seperti pengamat ekonomi atau pengkritik sambil mencari peluang siapa yang akan di kambing hitamkan atas lesunya investasi.
Padahal FDI (Foreign Direct Investment) amat di butuhkan perekonomian Indonesia. Selain untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan membantu penyerapan tenaga kerja, FDI juga diperlukan untuk mengamankan cadangan devisa, menjaga kurs rupiah dan membiayai kebutuhan impor dan keperluan valas lainnya. Apalagi ekspor Indonesia cenderung terus menurun sehingga terjadi trade deficit, dan Current Account Deficit (CAD) yang ditaksir tahun 2019 ini akan mencapai USD33Milyar atau diatas 3% PDB.
Sementara itu, sudah cukup lama perekonomian Indonesia mengandalkan arus modal asing masuk (capital inflow) dari portofolio yang sifatnya jangka pendek dan sewaktu waktu bisa kabur dari Indonesia.
Selain itu, pemerintah akhir akhir ini juga cenderung aktip berburu utang dalam valas untuk membiayai defisit APBN. Perburuan utang, termasuk utang valas, semakin menjadi-jadi ditengah tengah lemahnya penerimaan perpajakan yang dapat diperkirakan tahun ini akan tekor alias defisit sekitar Rp150 triliun sampai Rp 200 triliun. Bila tidak ada spending cut, berarti akan ada tambahan defisit APBN sebesar ketekoran pajak tsb. Tetapi pemotongan anggaran akan semakin menekan pertumbuhan ekonomi.
Para pengamat melihat bahwa tax ratio yang pernah lama bertengger di kisaran 11% sampai 13%, selama Menkeu Sri Mulyani terus menurun. Ekonom Anthony Budiawan melihat bahwa tax ratio yang pernah mencapai 13,3 persen, selama Menkeu Sri Mulyani terus menurun sehingga kini pada semester I-2019 hanya 8,89 persen dari PDB atau yang terendah dalam sejarah Indonesia ataupun terendah di Asia Pasifik.
Kebalikannya, debt ratio (rasio utang terhadap PDB) terus meningkat selama Menkeu Sri Mulyani. Bunga atau yieldnya juga amat tinggi. Konon utang Indonesia yang tertinggi bunganya di Asia Pasifik.
Saya kira tidak ada Menteri Keuangan RI lain yang mencetak utang untuk APBN melebihi utang yang dibuat oleh Sri Mulyani. Sehingga tidak heran bila Menkeu Sri Mulyani pernah dijuluki menteri terbalik, menteri utang, atau Menkeu terburuk yang pernah dipunyai Indonesia.
Sebab itu sudah selayaknya Presiden Jokowi kembali mempertimbangkan janjinya saat kampanye dulu yang ingin memisahkan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan, untuk menjadi Badan tersendiri. Upaya ini sebenarnya sudah dituangkan dalam RUU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) yang dikirimkan Presiden Jokowi ke DPR saat Menkeunya Bambang Brojonegoro. Sayang upaya ini tidak dilanjutkan oleh Sri Mulyani.
Siapapun Menteri Keuangannya, tidak perlu terlalu berambisi mengangkangi terus Ditjen Pajak apalagi jika sudah terbukti bertahun tahun gagal mencapai targetnya. Tugas penerimaan negara ini sudah terlalu berat bila dipikul oleh sebuah Ditjen. Dari berbagai ukuran, organisasi Ditjen Pajak sudah melampaui rata rata kementerian. Sehingga menjadi sebuah badan tersendiri merupakan keniscayaan.
Penulis dalah pengamat ekonomi dan mantan Menteri Keuangan RI.
BERITA TERKAIT: