Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sehari Semalam di Malaka

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zeng-wei-jian-5'>ZENG WEI JIAN</a>
OLEH: ZENG WEI JIAN
  • Selasa, 27 Agustus 2019, 05:31 WIB
Sehari Semalam di Malaka
Aktivis Lieus Sungkharisma bertemu warganegara Indonesia yang bekerja di Singapura./Ist
DARI kota Pontianak, Lieus Sungkharisma, Ketua Panitia Pemulangan Habib Rizieq Shihab, ngajak makan Durian "Musang King" di Malaysia. Dua bulan lagi, Durian ini sulit ditemukan. Musim berbuahnya berakhir.

Saya usul; sekalian liat Singapore dulu. Ngopi-ngopi di sana. Pesan tiket. Minggu take off. Rencana Senin malam balik Jakarta.

Singapore city-state dengan rakyat 5,6 juta orang. Mayoritas Tionghoa. Segala macam ras ada. Bule, India, Bangladesh, Melayu. Bersih. No traffic jam. Aman. Kamera di mana-mana. Open society. Toleransi tinggi. Ramah tamah yet individualistik.

Berdasarkan "Passport Index", Singapore ngalahin Jerman di posisi #1 bebas visa.

Lunch di Marina Bay, ada seorang bapak dari Bogor. Rambutnya putih. Masuk masa pensiun. Sudah tiga hari di sini. Bersama cucu-cucu. Dia bilang, "Singapore the best. Multi etnik. Bhinneka Tunggal Ika ya ada di sini."

Tapi saya nyaris ngga liat ada mix couples atau mix groups. Indian with Indian. Chinese ngumpul sesama Chinese. Melayu pun begitu.

Every one speaks with their own languages. "Sing-Lish" jadi bahasa pengantar.

Yet, I don't sense any racial segregation. Saya ngga merasa ada rasisme. No tension. Rilex. Semua etnik ngumpul di "yellow square". Tempat merokok. Ngu-duth. Ada cewe, semua diam, mind their own business. Sambil hembuskan asap putih nikotin.

Singapore negara kaku. Rada membosankan. Disiplin tinggi. Tahun 1992, PM Lee Kuan Yew nge-banned permen karet. Alasannya "maintenance problems".

Ngga ada jalan berlobang. So clean. Tidak ada debu, serpihan tanah, lumpur kering di atas daun-daun, trotoar, dinding atau billboard. Semuanya teratur. Semuanya terkoneksi. Dari satu mall ke mall lain. Mobil sedikit. Mewah-mewah.

Di Orchad Road, Aktivis Tionghoa Lieus Sungkharisma disambut WNI yang kerja di sana. Semuanya perempuan.

Mereka ngumpul di sana. Main Hape. Video call. Ngurut. Pijat-pijat. Senda gurau. Salary mereka sekitar 6-12 juta rupiah.

Banyak orang Indonesia di Singapura kenal Lieus Sungkharisma. Di MRT, Mall, Taman, Airport, ada saja orang minta selfie.

Up town, daerah pinggiran, ada area Siamese. Toko-toko Vietnam. Buruh Asia Selatan. Item-item. Lower class. Nyata, Singaporeans tidak punya racial prejudice terhadap strangers. Everybody is welcomed.

Layaknya dua orang "sam-seng". Seperti Gembel. Nyantai di taman. Nunggu Ikoh Rahmawati yang sedang shopping. Nyari sepatu Nike. Chairman Jusuf Hamka kirim pesan whatsapp: "Kasian terlantar di Singapura".

Sambil nunggu, nyigar di taman. Ngobrolin politik. Lieus Sungkharisma buka kotak Cerutu Cohiba Cuba. Di airport, saya liat harganya 14 juta. Ada 25 batang. Satu batangnya 560 ribu rupiah.

Sore hari siap-siap ke Kuala Lumpur. Malam kita sampai di Hotel 5 Star The Gardens. Porter bernama Irwan. Orang Bugis. Tapi sudah menjadi WN Malaysia. Dia bilang Chairul Tanjung kalo ke Kuala Lumpur ya nginap di sini.

Kuala Lumpur sedikit di bawah Jakarta. In terms of luxury. Tidak semacet Jakarta. Taxinya tua dan buruk. Ada Supir Tionghoa. What a surprise.

All my life, saya ngga pernah naik taxi konvensional dengan sopir ethnik Tionghoa di Jakarta.

Sebelum ke Pasar Buah SS2, lunch di sekitar hotel. Saya pake kesempatan untuk ngobrol dengan orang India dan Melayu.

Nyaris serupa dengan Singapura, di sini pun ada perkubuan. Chinese 30% tapi warna India terasa. Banyak buruh seperti kasir dan waiter berasal dari Bangladesh dan elsewhere.

In terms of education, Malaysia sudah di atas Indonesia. Semua orang speaks English.

Sambil nge-wine & nyigar, saya ngobrol dengan Pelayan Sandeep dari Nepal. Dia belum bisa bahasa Melayu. Sikit-sikit ngerti.

Malaysia lebih rilex dari Singapore. Saya bisa ngerokok di mana saja. Thanks God. Love the city.

Menurut seorang Melayu, sekarang ini social harmony sudah baik. Sekalipun sangat sensitif. Tapi semua orang ngerti apa yang boleh dan tidak boleh dibicarakan.

Misalnya Melayu dan Chinese tidak akan bicara seputar potong sapi saat bersama ethnik India. Semua orang menjaga perasaan orang lain. N' I think that's beautiful.

Sebelum pulang ke Jakarta, akhirnya Lieus Sungkharisma bisa makan Durian Musang King.

Pesan Moralnya; Jangan makan durian sambil ngopi. Apalagi alkohol. Bisa demam. Too hot. Paling baik, makan duren sambil minum air kelapa.

Chairman Jusuf Hamka berkata, "Ati-ati duren suntikan." rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA