Ketika Semua Baru Teriak Setelah Sunyi yang Panjang

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/gde-siriana-yusuf-5'>GDE SIRIANA YUSUF*</a>
OLEH: GDE SIRIANA YUSUF*
  • Jumat, 05 Desember 2025, 15:44 WIB
Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan
Suasana kerusakan akibat banjir bandang di pemukiman rumah warga di wilayah Lubuk Minturun, Koto Tengah, Kota Padang, Sumatera Barat (Foto: Humas BNPB).
MINGGU lalu, tanggal 28 November, saya menulis sebuah catatan pendek berjudul “Ketika Lagu Ebiet G. Ade Tidak Benar-Benar Kita Renungkan.” Saat itu belum banyak korban yang dilaporkan. Saya tidak tahu, dan tidak pernah membayangkan, bahwa tujuh hari kemudian korban tewas mencapai  lebih dari 800 jiwa, dan hilang lebih dari 500 orang. Angka yang terlalu besar untuk diterima, bukan hanya dalam laporan resmi suatu bencana banjir longsor, tetapi juga oleh kesadaran kita sebagai bangsa.

Hari ini, saya menulis lagi. Bukan sebagai kelanjutan, tetapi sebagai pengakuan pahit bahwa bencana ini bukan sekadar musibah daerah atau sektoral. Ini adalah tragedi nasional. Bahkan lebih dari itu, ini adalah tragedi struktural,  tragedi yang bukan terjadi kebetulan atau  alam "marah" tanpa sebab, ini akibat kerusakan yang sudah tertanam dalam sistem. Dan semestinya sudah kita sadari sejak lama.

Yang membuat dada ini sesak bukan hanya jumlah korban, tetapi betapa banyak pejabat tiba-tiba menjadi vokal setelah banyak korban berjatuhan, dan publik murka menuding penggundulan hutan sebagai biang keladi banjir longsor. Seakan-akan alarm baru berbunyi ketika nyawa sudah melayang.

Padahal, jauh sebelum air bah menggulung kampung-kampung itu, ada sunyi panjang yang dibiarkan: kementerian yang tahu betul laju deforestasi, polisi hutan yang tahu jalur-jalur pembalakan liar,  pemerintah daerah yang menandatangani izin demi capaian PAD, dan aparat yang membiarkan lalu lintas kayu ilegal. Semua diam.

Sudah menjadi pengetahuan umum di sekolah dasar, bahwa longsor bukan keajaiban geologi. Ia lahir dari proses sosial yang panjang. Titik-titik rawan longsor di Tapanuli sudah dipetakan sejak 2018. Kerusakan DAS sudah dilaporkan sejak 2021. Warga sudah berkali-kali mengeluhkan sungai yang makin dangkal. Tetapi seperti biasa, laporan-laporan itu menjadi seperti suara radio yang dikecilkan volumenya: terdengar, tapi sengaja tak didengarkan.

Lalu setelah kemarahan nasional mulai menuding pihak-pihak yang layak dimintai pertanggungjawaban, semua langsung teriak demi menghindari tudingan.

Menteri Kehutanan bilang pemerintah akan melakukan upaya penegakan hukum jika memang ditemukan unsur pidana dari hasil penyelidikan kayu-kayu gelondongan yang hanyut saat banjir di Sumatera.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut terdapat sejumlah bekas gergaji pada kayu-kayu gelondongan yang terseret banjir di Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara.

KLHK sebelumnya menyebut kayu tersebut diduga berasal dari izin legal melalui skema Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT), bukan illegal logging.

Bupati Tapsel bilang gelondongan kayu dalam jumlah besar itu  berasal dari praktik pembalakan liar yang berkedok izin PHAT.

Pertanyaannya sederhana: Mengapa sebelumnya tidak ada institusi negara yang tegas menyuarakan ini kepada publik dengan data lengkap dan melakukan tindakan keras: nama korporasi, di wilayah hutan mana, berapa luas hutan yang telah ditebang, sejak kapan itu dilakukan, kemana kayu-kayu itu dikirim, perizinannya seperti apa dan dikeluarkan institusi mana, siapa aparat yang menjadi beckingnya. Tidak ada. Semua diam.

Kemunafikan ini bukan baru sekali terjadi. Setiap bencana besar selalu memunculkan pola yang sama: pejabat berlarian setelah semuanya luluh lantak, lalu mencari kambing hitam yang paling mudah, misalnya cuaca ekstrem, fenomena La Niña, hujan yang “tak biasa.” Padahal akar masalahnya sudah ditulis dengan huruf tebal: kerusakan lingkungan yang dibiarkan terlalu lama.

Tidak heran jika hari ini publik punya distrust yang makin dalam terhadap negara. Rakyat sudah hafal naskahnya. Sebelum bencana: sunyi. Saat bencana: ramai. Sesudah bencana: lupa lagi.

Padahal melindungi rakyat tidak dimulai dari evakuasi. Melindungi rakyat dapat dimulai dari melindungi hutan, menjaga DAS, menutup izin-izin yang serampangan, dan membangun sistem mitigasi yang hidup setiap hari, bukan hidup ketika semua sudah terjadi.

Prevensi itu murah, bencana itu mahal. Harga kayu yang ditebang tidak akan pernah sebanding dengan harga yang harus kita bayar hari ini: rumah dan infrastruktur hancur, anak-anak terpisah dari orang tuanya, ribuan pengungsi yang harus bertahan hidup dengan duka mendalam kehilangan orang-orang yang dicintai, sumber ekonomi musnah, dan trauma yang akan hidup lebih lama dari banjir itu sendiri.

Pertanggungjawaban tidak cukup berhenti di satu-dua perusahaan yang merambah hutan. Pertanggungjawaban juga harus ditanggung oleh semua pihak yang membiarkan, yang memalingkan wajah, yang menganggap kerusakan lingkungan sekadar anak haram dari pembangunan. Kalau tidak diadili secara hukum, setidaknya mereka diadili secara etik dan moral.

Minggu lalu saya menutup tulisan dengan suara Ebiet: “Barangkali di sana ada jawabnya.” Kali ini saya ingin meminjam suara lain. The Beatles dengan lagunya "Mother Nature's Son" (Anak Ibu Pertiwi). Lagu ini mengisahkan seorang anak dari keluarga miskin, yang masih dapat menyanyi dan menari, sambil menikmati alam yang indah, satu-satunya harta yang dimilikinya. Ironisnya, hari ini,
bahkan harta terakhir itu pun perlahan diambil dari anak-anak kita. rmol news logo article

Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (iNFUS) dan kandidat doktor Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran

EDITOR: AHMAD ALFIAN
  • TAGS

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA