Namun demikian, ada yang perlu dicermati dan diantisipasi dari putusan MK tesebut.
Pertama, uji pasal 348 ayat 9 UU 7/2017, MK memutuskan bahwa KTP elektronik tidak menjadi satu-satunya syarat untuk melakukan pemungutan suara sehingga bisa diganti dengan identitas lain yakni surat keterangan yang sudah terekam dalam e-KTP tapi belum memiliki fisik e-KTP tersebut.
Yang menjadi permasalahan saat ini masih ada hampir empat juta warga negara belum melakukan perekaman E-KTP, yakni 3,42 juta jiwa atau 1,78 persen. Sementara untuk mendapatkan Surat Keterangan (SUKET) harus sudah terekam e-KTP untuk dapat memilih di hari pemungutan suara. Yang menjadi permasalahan apakah sisa waktu seminggu lebih beberapa hari pemerintah melalui Kemendagri dan Disdukcapil dapat menuntaskan permasalahan ini, begitu pun KPU sebagai penanggung jawab pelaksanaan Pemilu 2019.
Jika tidak dilakukan aksi jemput bola maka akan banyak warga yang malas mengurus suket apalagi belum terekam di E-KTP. Walau dapat menyelamatkan hak pilih akan tetapi juga bisa disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu bila suket yang sudah terekam tidak diurus pemilihnya. Hal ini harus diantisipasi, di samping dapat meningkatkan golput administratif yang jumlahnya signifikan. Dalam hal ini juga KPPS harus jeli dalam memproses pemilih di depan pintu masuk khususnya KPPS nomor empat, serta pengawas TPS harus memiliki wawasan teknis yang memadai untuk mencegah pemilih siluman.
Kedua, dalam uji materi pasal 210 ayat 1 UU 7/2017, MK memutuskan bahwa pemilih dalam kondisi sakit, terkena bencana, masuk penjara atau dinas luar kota untuk masuk dalam DPTb paling lambat H-7. Hal ini tentu positif bagi pemilih yang dalam kondisi keadaaan tertentu belum tercatat masuk dalam DPTb, namun demikian putusan ini dapat diakali oleh oknum-oknum caleg yang memiliki uang banyak untuk meraih suara sebanyak-banyaknya dan memungkinkan pemilih untuk berpindah TPS tanpa syarat pembatasan jumlah dan wilayah daerah pemilihan mana.
Sehingga amat terbuka bagi mobile voters, pemilih dari suatu dapil yang dimobilisasi untuk mendukung parpol atau caleg tertentu di dapil yang lain. Oleh karena itu, Bawaslu RI dan jajarannya harus meliliki langkah antisipasi yakni membuat mekanisme atau tim kerja pengawasan mobile voters. Jika di dalam suatu wilayah ada lonjakan pindahan, dinas luar kota dan bekerja di luar domisili (PKPU 9/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 3 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu) yang drastis dalam jumlah besar patut dicurigai mobile voters akan sangat efektif bagi oknum caleg DPRD kabupaten/kota.
Ketiga, dalam uji materi pasal 383 ayat 2 UU 7/2017, MK memutus untuk menambahkan waktu penghitungan suara satu hari ditambah 12 jam setelah pemungutan suara berlangsung. Hal ini juga patut diapresiasi mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu banyak kejadian penghitungan melewati batas waktu, apalagi dengan adanya lima jenis surat suara. Akan tetapi dalam pasal 390 ayat 2 memerintahkan "KPPS wajib memberikan satu eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara kepada saksi peserta pemilu, PTPS, PPS, PPK melalui PPS pada hari yang sama." Tentu hal ini akan menimbulkan multitafsir, di satu sisi ditambah 12 jam, di sisi lain harus menyerahkan berita acara pada hari yang sama.
Keempat, dalam putusan uji materi Pasal 350 ayat 2 UU 7/2017, MK menegaskan agar KPU bisa membuat TPS khusus di lokasi-lokasi yang terkonsentrasi dengan pemilih, seperti di penjara. Di UU 7/2017, TPS tambahan adalah TPS khusus. Pun dalam turunan teknisnya yakni pasal 38 ayat 10 PKPU 37/2018.
Pembuatan TPS-TPS khusus harus memperhatikan jumlah pemilih pindahan karena akurasinya akan menentukan logistik seperti surat suara agar tidak lebih atau kekurangan. Jika kelebihan surat suara penyalahgunaan tidak tertutup kemungkinan terjadi, jika kekurangan maka kebanyakan pemilih yang hilang hak pilihnya.
Girindra SandinoDirektur Eksekutif Seven Strategic Studies, Wakil Sekjen KIPP Indonesia.
BERITA TERKAIT: