Sejak runtuhnya kekuasaan Orde Baru, dasar hukum bagi pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia semakin kuat, setelah dikeluarkannya TAP MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan dimuatnya Bab X A dalam UUD 1945 yang menegaskan proteksi konstitusional hak asasi manusia.
Jumlah produk legislatif nasional tentang hak asasi manusia meningkat setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU 5/1998 dan terakhir ratifikasi dua kovenan internasional yakni Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (UU 11/2005) serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (UU 12/2005).
Proses demokratisasi yang sudah berjalan 20 tahun terakhir di Indonesia secara langsung atau tidak langsung berpengaruh positif terhadap hak sipil dan politik, berbeda halnya dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya yang masih jauh dari harapan.
Realisasi hak ekonomi, sosial dan budaya mengharuskan adanya langkah aktif negara. Sebagai contoh, pemenuhan hak atas pangan jelas merupakan kewajiban negara dan dengan demikian pelanggaran atas hak ini terjadi ketika negara gagal menjamin atau paling tidak memenuhi kebutuhan minimal untuk bebas dari kelaparan.
Itulah sebabnya, perwujudan hak ekonomi, sosial dan budaya memerlukan jaminan yuridis dalam bentuk perundang-undangan dengan konstruksi pasal-pasal rinci dan spesifik yang mencakup definisi hak, penentuan fungsi dan tanggung jawab pelaksanaan di semua tingkat pemerintahan, kerangka kelembagaan, pembiayaan serta mekanisme untuk mencegah pelanggaran atas hak-hak tersebut.
Sejalan dengan telah berlakunya UU 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, maka pembentukan serta pembaruan undang-undang yang mengatur jaminan dan prosedur perlindungan hak-hak itu harus menempati prioritas tinggi sebagai produk legislatif nasional yang akan datang.
Sejauh ini orientasi produk legislatif nasional lebih tertuju pada pembentukan pada pembentukan dan pembaruan perundang-undangan yang menjamin kelangsungan “ekonomi pasar bebasâ€, tidak berpedoman pada pasal-pasal UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional perkonomian nasional dan kesejahteraan sosial.
Contoh konkret, belum ada paket perundang-undangan yang mengatur lebih jauh pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang memuat perkonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasonal.
Namun memang ironis kalkulasi pragmatis untuk meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya demi meraih kemenangan politik menegasikan isu-isu sentral hak-hak asasi manusia tersebut, kalaupun ada hanya sebatas retorika dan kalimat sloganistik, itupun sangat sedikit sekali terdengar dan terlihat pada Alat-alat Peraga Kampanye yang kini menjamur di pinggir jalan.
Pemilu sebagai ajang kontestasi demokrasi, pada tahapan kampanye pemilu 2019 ini seharusnya menjadi momentum refleksi kritis atas persoalan di atas.
Girindra SandinoPeneliti 7 (Seven) Strategic Studies
BERITA TERKAIT: