Apakah Jokowi Masih Berani "Koar-Koar" Soal Penegakan Hukum?

Senin, 14 Januari 2019, 17:44 WIB
Apakah Jokowi Masih Berani "Koar-Koar" Soal Penegakan Hukum?
Joko Widodo/Net
NEGARA Indonesia adalah negara hukum. Itu tidak bisa dibantah dan diperdebatkan lagi. Karena sudah jelas terdapat dalam konstitusi kita Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen. Dengan hukum, setiap warga negara dipastikan akan terlindungi hak-haknya. Tidak ada yang bisa berbuat sewenang-wenang kepadanya, bahkan Pemerintah sekalipun.

Hukum memperlakukan semua orang sama. Karena itulah, ciri-ciri hukum harus mempunyai kepastian dan keadilan. Pasti dalam artian hukum akan ditegakkan dan dijalankan. Adil bermakna berlaku secara umum tanpa pandang bulu dan mempertimbangkan keadilan masyarakat.

Melihat pentingnya keadilan ini, kata yang terkait dengannya kerap disebut dalam konstitusi kita. M. Amien Rais (2019) mencatat setidaknya terdapat 26 kata yang berkait dengan kata adil, yaitu adil, keadilan, peri-keadilan, mengadili, peradilan, seadil-adilnya, dan berkeadilan, dalam UUD 1945 mulai dari Pembukaan, Batang Tubuh sampai selesai (Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan). Karena itu menurutnya, menegakkan keadilan adalah kunci satu-satunya tegaknya Bangsa dan Negara Indonesia. Tanpa adil dan keadilan yang tertera dalam Pancasila, masa depan Bangsa dan Negara Indonesia pasti akan goyah.

Keadilan yang disinggung oleh Amien Rais memang dalam arti luas. Tidak hanya soal hukum, tapi juga terkait dengan keadilan sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Namun yang akan diulas dalam tulisan singkat ini hanya terkait dengan keadilan dari segi hukum. Soal hukum ini, juga terkait HAM, korupsi, dan terorisme, akan menjadi materi debat capres-cawapres antara Joko Widodo-KH. Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno pada Kamis, 17 Januari 2019 mendatang.

Dari kedua pasangan tersebut, yang akan mendapat sorotan lebih luas adalah Jokowi. Karena seorang incumbent, dia tentu tidak bisa lagi seenaknya menyampaikan janji-janji dalam hal penegakan hukum. Publik akan 'menyoraki'-nya kalau dia masih berkata-kata 'akan, akan' pada sesuatu yang semestinya sudah dilaksanakan pada periode pertama kepemimpinannya. Karena rakyat sudah memegang daftat janji-janjinya pada Pilpres lalu, sudah mengetahui track record-nya selama ini, bahkan tidak sedikit juga yang mengalami ketidakadilan hukum di era kepemimpinannya lima tahun belakangan ini.

Jamak diketahui bahwa penegakan hukum merupakan aspek terlemah dalam pemerintahan Jokowi. Hukum hanya tajam ke bawah tumpul ke atas; hukum hanya berlaku untuk orang yang kritis serta lawan politik dan tidak untuk kelompok dan pendukung pemerintah. Karena itu tidak jarang hukum dijadikan sebagai alat politik untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya seperti yang digariskan dalam konstitusi kita. Akhirnya tidak ada kepastian, dan tidak ada keadilan.

Misalnya kasus dugaan makar yang dialamatkan kepada sejumlah tokoh jelang pelaksanaan Aksi Bela Islam 212 akhir Desember 2016 lalu. Para aktivis senior tersebut selama ini dikenal kritis kepada pemerintah. Mereka ditangkap dari tengah malam sampai pagi hari. Memang kemudian dilepaskan. Sampai sekarang tidak jelas bagaimana kelanjutannya. Dari 11 orang yang dituduh terkait makar, dua orang ditahan dan berlanjut ke pengadilan. Yaitu Jamran dan Rijal Kobar. Namun pasal yang menjerat keduanya berubah menjadi kasus ujaran kebencian, bukan makar.

Polisi juga sigap memproses kalau ada dari pihak kontra yang terkait dengan penyebaran ujaran kebencian, termasuk hoax dan persekusi. Tapi para pendukung yang melakukan hal serupa tidak ditindaklanjuti meski sudah dilaporkan ke Kepolisian. Banyak pula tuduhan Polisi yang tidak terbukti di persidangan. Seperti kasus Saracen. Saat pertama kali Polri membongkar kasus ini, luar biasa hebohnya. Kelompok di dunia maya ini disebutkan memiliki ribuan akun yang menyebarkan ujaran kebencian. Semakin heboh karena dikait-kaitkan dengan nama Prabowo. Tapi dalam persidangan tidak ada yang terbukti. Bos Saracen, Jasriadi, hanya dijerat kasus ilegal akses terhadap akun Facebook Sri Rahayu.

Para aktivis kritis seperti mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak juga selalu 'dikerjai' kepolisian. Dahnil bolak balik diperiksa polisi. Mulai dari kasus yang menimpa penyidik KPK Novel Baswedan, hingga yang terbaru kasus dana kemah pemuda. Polisi terkesan mencari-cari kesalahannya. Bahkan juga menyasar sejumlah anggotanya.

Sementara kasus yang membelit Bos MNC Hary Tanoe misalnya, seakan dihentikan pihak kepolisian setelah Ketua Umum Perindo tersebut mendukung Presiden Jokowi. Yang terbaru kasus pengeditan foto cawapres KH. Maruf Amin berkostum sinterklas, kepolisian sangat responsif. Sedangkan jauh sebelumnya, Habib Rizieq dan sejumlah tokoh umat Islam lainnya juga mendapat perlakuan sama. Tapi sampai saat ini polisi belum juga mengusut dan menangkap siapa orang yang mengedit foto Habib Rizieq Cs berkostum sinterklas tersebut.

Daftar ketidakadilan dalam penegakan hukum era Jokowi ini bisa diperpanjang. Karena masih banyak contoh lain. Belum lagi kasus Novel Baswedan, yang sampai saat ini polisi belum juga menangkap siapa orang yang menyiramkan air keras ke wajahnya. Padahal kejadiannya sudah hampir dua tahun. Polisi dianggap bukannya tidak mampu untuk menangkap pelaku, namun tidak mau. Sehingga pembentukan Tim Gabungan Kasus Novel Baswedan pada pekan lalu dinilai hanya politis untuk menyelamatkan wajah Jokowi pada tahun politik ini, terutama jelang debat capres tentang Hukum, HAM, korupsi, dan terorisme, Kamis mendatang. Bahkan sudah ada Kaukus Korban Hak Asasi Manusia dan Kriminalisasi Rezim Jokowi.

Demikian pula penegakan hukum di Kejaksaan. Hukum jadi alat politik. Dalam tulisannya Jokowi's Authoritarian Turn, Tom Power menceritakan pengakuan seorang politikus PDIP bahwa Kejaksaan dijadikan sebagai "senjata politik" untuk mengendalikan oposisi dan oleh Partai Nasdem dijadikan alat untuk memaksa kepala daerah bergabung dengan mereka. Mengingat Jaksa Agung merupakan kader Nasdem.

Bahkan Ridwan Kamil sebelumnya mengaku menerima pinangan Nasdem menjadi kendaraan politiknya maju pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat karena partai pimpinan Surya Paloh tersebut punya kejaksaan. Beruntung, kita masih punya KPK. Sejumlah kepala daerah yang diduga mendukung Jokowi karena ada ancaman tersebut tidak bisa lolos dari jeratan KPK. Entah sudah berapa kepala daerah yang mendukung Jokowi yang sudah ditangkap KPK.

Setali tiga uang dengan Kepolisian dan Kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM yang dipimpin politikus PDIP Yasonna Laoly juga tidak menunjunjukkan kenetralannya dalam menegakkan aturan. Hal ini terkait dengan konflik yang mendera partai politik. Bahkan tidak sedikit yang menilai Pemerintah punya andil besar di balik konflik yang membelit Golkar dan PPP tidak lama setelah Pilpres 2014 lalu. Karena adanya intervensi lewat kewenangan yang memang dimilikinya, akhirnya membuat dua partai tersebut merapat ke Pemerintah. Kedua partai tersebut sebelumnya bagian dari Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo-Hatta dan sudah bekerja sama dalam sejumlah isu di parlemen.

Terkait konflik Golkar dan PPP, Budiatri Dkk dari LIPI dalam hasil penelitian "Faksi dan Konflik Internal Partai-Partai Politik di Indonesia Era Reformasi" (2017) mengkritik UU Partai Politik karena membuka peluang bagi Kemenkum HAM untuk terlibat di dalam penyelesaian konflik, salah satunya lewat kewenangan pengesahan kepengurusan partai. Keterlibatan pemerintah bertolak belakang dari semangat UU itu sendiri yang memberikan kesempatan bagi partai secara internal menyelesaikan persoalan konfliknya, dan bila memang tidak selesai maka ada jalur peradilan yang dapat ditempuh.

Dengan fakta-fakta ketidakadilan dalam penegakan hukum di atas, publik menunggu janji apalagi yang akan dibeberkan Jokowi dalam debat nanti. Apakah dia akan mengakui kelemahannya dalam penegakan hukum sehingga berjanji akan memperbaikinya? Ataukah dia kembali berjanji akan membuat kabinet ramping dan profesional, dan termasuk berkomitmen lagi tidak akan menyerahkan kursi Jaksa Agung ke orang partai? Atau jangan-jangan dia akan menyebut bahwa ketidakadilan dalam penegakan hukum ini bukan kewenangannya? Kita lihat saja. Tapi tampaknya rakyat tidak akan bisa dikelabui untuk kedua kali.

Namun yang pasti kita mengingatkan akan pentingnya keadilan ini. Karena ini menjadi taruhan masa depan bangsa, seperti diisyaratkan Amien di atas. Bahkan filsuf Thomas Aquinas mengingatkan tugas pokok negara adalah menciptakan perdamaian. Karena perdamaian unsur terpenting dalam kesejahteraan umum. Namun perdamaian hanya dapat tercapai atas dasar keadilan. Karena itu tugas pertama negara adalah menciptakan dan menjamin keadilan (Suseno, 2003). [***]

Zulhidayat Siregar
Alumni 212.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA