Why? Karena sejak Menteri Keuangan era Sri Mulyani (atau era Presiden Jokowi), semua laporan dicoba-sajikan dalam bingkai "sukses" yaitu dengan menggunakan permainan kata-kata dan alat pembanding yang sekenanya (kurang relevan), yang penting kinerja nampak hebat dan sukses. Sering dengan meniadakan analisa yang seharusnya diungkapkan.
Cara-cara seperti ini sesungguhnya bukan tradisi Kementerian Keuangan yang cenderung polos dan konservatif. Mengutip orang 'dalam', model laporan yang sekarang ini adalah gaya Sri Mulyani yang telah berubah dari teknokrat profesional menjadi politisi, sesuai dengan era politik yang serba pencitraan.
Catatan TeknisHal-hal yang sudah sesuai atau positif dari laporan Menteri Keuangan tentu tidak perlu lagi dibahas. Para politisi di DPR cukup mendalami kinerja yang belum sesuai atau yang perlu perhatian. Diantaranya ialah:
1. Kurs Rupiah Terhadap USD
Dalam APBN 2018, kurs rupiah di target Rp 13.400 dan realisasi rata-rata pertahun Rp 14.247. Nilai tukar rupiah ditentukan oleh banyak faktor yang intinya adalah besarnya supply valas terhadap demand valas. Sumber utama valas adalah ekspor dan pemasukan valas dari sumber lain ke Indonesia baik dari utang valas, currency swap, turis asing, foreign direct invetstment (FDI) maupun investasi portofolio serta pemasukan valas lainnya dari luar negeri seperti dari TKI/TKW.
Rincian ini penting tetapi belum terungkap. Mungkin perlu dilaporkan bersama dengan Gubernur Bank Indonesia (BI). Hal yang mencemaskan adalah ekspor (sumber utama valas) hanya tumbuh 7,7% sementara impor (pemakai utama valas) tumbuh 22,2% sehingga defisit neraca perdagangan Indonesia 2018 (migas dan non-migas) adalah USD 7,5 miliar. Dari Perdagangan migas sendiri defisit USD 12,1 miliar yang menunjukkan tajamnya peningkatan impor migas.
Perlu dipisahkan berapa kenaikan nilai impor migas yang semata-mata karena kenaikan harga minyak, berapa yang karena naiknya volume impor minyak, dan terpenting serta harus jujur adalah berapa efek dari implementasi program B20, yang konon kilang-kilang minyak di dalam negeri sebenarnya tidak sesuai untuk mengadopsi program B20?
Benarkah B20 hanya pencitraan atau memang ada kekuatan tertentu yang lebih menginginkan impor minyak demi berburu rente dari impor.
Selain itu, impor jasa juga mengalami kenaikan yang tajam sehingga Neraca Transaksi Berjalan semakin defisit dan mengancam nilai tukar rupiah. Meskipun demikian, nilai tukar rupiah, anehnya, relatif masih terkendali yang tentunya ada faktor-faktor lain (anomali) yang harus dijelaskan rinci oleh pemerintah dan BI. Misalnya, benarkah karena currency swap dengan China?
Hal-hal seperti ini tentunya harus di ungkapkan pemerintah secara komprehensif dan transparan. DPR harus proaktif.
Metode perhitungan depresiasi rupiah sepanjang tahun 2018 juga harus dijelaskan bagaimana pemerintah pada kesimpulan angka depresiasi 6,89%. Apabila pemerintah menggunakan angka kurs rata-rata tahun 2018 Rp 14.247, maka berarti diasumsikan nilai tukar rupiah pada awal tahun 2018 adalah Rp 13.328 per USD sehingga depresiasinya 6,89%.
Tetapi bila digunakan angka kurs point to point (bukan angka rata - rata) yaitu kurs per- 31 Desember 2017 dibandingkan per 31 Desember 2018 yang Rp 14.481 bisa jadi angka depresiasinya berbeda. Tidak ada metode yang salah hanya saja perlu penjelasan terutama untuk para politisi di DPR agar tidak misleading.
2. Penerimaan Negara 2018
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan bangga mengatakan bahwa untuk pertama kalinya pendapatan negara melampaui targetnya. Berarti juga mengakui selama ini gagal mencapai target. Dari target APBN 2018 sebesar Rp 1.894,7 triliun, terealisasi Rp 1.942,3 triliun atau 2,5% di atas targetnya. Tetapi bila dikaji lebih dalam, sumber-sumber penerimaan negara yang surplus adalah yang berasal dari atau karena faktor eksternal, bukan internal karena hasil kerja pemerintah.
Penerimaan perpajakan (dari Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai) masih shortfall Rp 96,7 triliun atau 6% di bawah target APBN. Sementara dari Ditjen Pajak saja dari target Rp 1.424 triliun hanya terelisasi Rp 1.315,9 triliun atau shortfall Rp 108,1 atau 7,6%.
Shortfall yang 'rendah' tadi sebenarnya tertolong karena PPh migas menyumbang surplus 69,6% atau surplus Rp 26,6 triliun (dari target Rp 38,1 triliun) karena kenaikan harga minyak dunia, bukan karena kenaikan produksi migas yang justru di bawah target.
Sementara tulang punggung penerimaan negara adalah dari pajak PPh non-migas dan PPN yang keduanya masih dibawah target APBN, yaitu dari target Rp1,358,8 trilun hanya terealisasi Rp 1.225 triliun atau tekor Rp133,8 triliun atau 9,8%. Sehingga di luar PPh migas, penerimaan Ditjen Pajak dari target Rp 1.385,9 triliun hanya terealisasi Rp 1251,2 triliun atau shortfall 9,7%.
Surplus-surplus yang lain yang akhirnya mampu menutupi shortfall dari Ditjen Pajak adalah penerimaan yang bersifat musiman (faktor external) utamanya kenaikan harga minyak dan komoditas di pasar dunia. Juga karena kenaikan hibah sebesar Rp 12,7 triliun atau kenaikan 1061%. Patut disyukuri tapi tidak perlu membusungkan dada, karena itu bukan hasil kerja pemerintah.
Tax ratio 2018 dilaporkan 11,5%. Dengan PDB 2018 sebesar Rp 14.745,9 triliun berarti diasumsikan penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.695 triliun. Sementara kenyataannya realisasi penerimaan perpajakan 2018 hanya Rp 1.521,4 triliun atau 10,3% dari PDB.
Jadi perlu penjelasan pemerintah, misalnya karena penerimaan perpajakan dalam realisasi APBN 2018 itu belum memasukkan PBB perkotaan dan pedesaan yang di kelola Pemerintah Daerah? Benarkah demikian? Semua ini tentu perlu penjelasan agar angka tax ratio tidak debatable.
Belanja NegaraSejujurnya tidak mudah untuk melihat efisieni dan efektivitas belanja negara tanpa melihat angka Satuan 6. Belanja barang saya yakini sebagai sumber kebocoran yang paling serius. Meski tanpa satuan 6, beberapa catatan masih dapat dibuat untuk perhatian ibu Menkeu.
Pertama, realisasi pembayaran bunga utang Rp 258,1 triliun sedangkan anggarannya Rp 238,6 triliun atau kenaikan sebesar Rp 19,5 triliun ( 8,2% ). Tentu perlu penjelasan atas kenaikan pembayaran bunga utang ini sebab utang adalah issue yang sensitif.
Kedua, subsidi BBM dan LPG yang dianggarkan Rp 46,9 triliun tetapi realisasinya Rp 97 triliun (207%) atau lebih besar Rp 50,1 triliun. Apakah subsidi Rp 97 triliun itu sudah angka accrual (total beban 2018) atau baru berdasarkan cash basis (jumlah subsidi yang benar benar sudah dibayarkan kepada Pertamina)?
Bila masih ada tunggakan subsidi BBM dan LPG 2018 yang belum dibayarkan di atas Rp 97 triliun itu berarti total subsidinya melebihi angka Rp 97 triliun. Dan bila demikian halnya, maka kekurangannya seharusnya tetap di perhitungkan sebagai beban anggaran 2018, yang berarti defisit anggarannya juga lebih besar dari yang dilaporkan. Dalam APBN 2018 defisit anggaran tertera 2,19% PDB dan realisasinya menurut laporan Menkeu 2 Januari 2019 adalah 1,76% PDB.
Jujur saja saya meragukan kebenaran angka pada Laporan itu sampai ada kejelasan atau klarifikasi tentang cara pembukuan/perhitungan subsidi maupun tunggakan tunggakan lain seperti bunga dan lain-lain. Praktik praktik licik akuntansi APBN yang di kenal dengan istilah window dressing ini harus di ungkapkan secara full disclosure baik oleh Menkeu maupun BPK kepada DPR.
Ketiga, catatan yang sama berlaku juga untuk subsidi listrik yang dalam APBN dianggarkan Rp 47,7 triliun tetapi realisasinya Rp 56,5 triliun itu sudah benar benar meliputi seluruh subsidi listrik 2018 baik yang sudah dibayarkan kepada PLN maupun yang belum dibayarkan (tunggakan) kepada PLN.
Bila masih ada tunggakan subsidi listrik kepada PLN di atas angka Rp 56,5 triliun itu berarti menambah defisit anggaran (defisit APBN) 2018. Ini juga perlu diklarifikasi mengingat sering terjadi inkonsistensi dalam pelaporan APBN.
Keempat, contingent liability. Mengingat kabarnya banyak utang utang BUMN yang di jamin negara, pemerintah perlu melaporkan secara rinci besarnya contingent liability ini sebagai footnote. Catatan ini penting karena bila BUMN gagal memenuhi kewajibannya, maka beban itu akan beralih ke negara. Pemerintah juga tidak bisa berdalih bahwa jaminan itu demi pembangunan infrastruktur sebab infrastruktur itu seharusnya adalah publik goods yang dibangun oleh negara dan digunakan oleh publik secara cuma cuma (gratis) seperti jalan umum, jembatan, irigasi, bandar dll. Tetapi bila diubah menjadi privat goods/commercial goods seperti jalan jalan tol yang mahal, itu adalah bisnis biasa.
[***]
Penulis adalah pengamat ekonomi.
BERITA TERKAIT: