Belenggu Tafsir Hukum

Minggu, 12 Februari 2017, 07:30 WIB
MANUVER mencari celah hukum menggunakan penafsiran yang berbeda terjadi pada kasus mengaktifkan Gubernur yang berstatus sebagai terdakwa tindak pidana penodaan agama.

Bukti registrasi sebagai terdakwa di pengadilan diabaikan dalam proses pengambilan keputusan untuk mengaktifkan seorang gubernur.

Angka minimal lima tahun dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dijadikan sebagai argumentasi batas toleransi untuk memberhentikan yang bersifat sementara. Angka keramat 5 tahun sekarang diperlonggar untuk calon Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan tingkat provinsi. Belakangan untuk dakwaan yang terdakwa tidak ditahan, juga ditafsirkan menjadi dasar yang sangat kuat untuk tidak memberhentikan bersifat sementara pada Kepala Daerah.

Manuver batas 5 tahun dakwaan itu bukanlah solusi yang jitu untuk mengatasi semakin banyaknya Kepala Daerah yang mengalami masalah hukum dalam penegakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Pilkada. Manuver senantiasa bersandar pada koalisi parpol untuk meredam penggunaan hak angket.
Juga berbagi jabatan untuk para vocalis.
Terpidana di bawah 5 tahun juga tidak diberhentikan bersifat sementara untuk menunggu inkrah.

Padahal diperlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat mencapai posisi inkrah. Apabila ditemukannya bukti-bukti baru, maka dapat dibuka persidangan yang baru.

Pemberlakuan azas praduga tidak bersalah menimbulkan praktek pemanfaatan celah hukum, yang dapat mendegradasikan wibawa penegakan hukum.

Inkrah dan peninjauan kembali yang semula menjadi pijakan untuk mengimplementasikan pengurangan risiko kekeliruan dalam menegakkan hukum, kemudian dapat menyimpang. Tumpukan perkara hukum menjadi semakin membukit. Persoalan mafia peradilan menjadi semakin serius. Celah hukum dijadikan sebagai mata pencaharian yang eksotis.

Wibawa penegakan hukum berkurang. Demikian pula dengan wibawa pejabat pemerintah. Posisi sebagai pejabat pemerintah akan dipandang dengan sebelah mata kurang terhormat oleh masyarakat secara luas, apabila seorang gubernur masih menjalani proses pengadilan sebagai terdakwa.

Berlindung dari argumentasi angka keramat 5 tahun kemudian menimbulkan keraguan yang sangat besar terhadap kesungguhan Pemerintah Pusat dalam membangun penegakan hukum sebagai panglima.

Hukum yang semula ditegakkannya, dengan maksud agar bencana alam semesta keruntuhan langit dapat senantiasa tertunda-tunda.

Penegakan hukum yang mengabaikan hierarkhi kegawatan persoalan. Persoalan dakwaan menodai kitab suci Al-Qur’an dan menodai ulama dipandang mempunyai kegawatan yang lebih rendah dibandingkan dakwaan kasus lainnya yang dilarang dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Posisi kesaktian sila pertama Pancasila menjadi kurang diperhatikan.

Kondisi bermanuver batas 5 tahun seperti ini sungguh tidak mengherankan mengingat kejadian baris identifikasi jenis agama dalam Kartu Tanda Penduduk pernah hendak dihapuskan. Penghapusan jenis agama pun dicurigai bukan sekedar sebagai motif memisahkan urusan agama dengan negara.

Sebuah kegagalan rencana penghapusan pengkategorian agama yang dapat mempersulit praktek tatacara keagamaan dalam menguburkan jenazah.[***]


Sugiyono Madelan

peneliti INDEF dan dosen Universitas Mercu Buana Jakarta


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA