Membangun Wibawa Pendidikan Indonesia

Sabtu, 13 Agustus 2016, 17:50 WIB
Membangun Wibawa Pendidikan Indonesia
Guru Arsitektur di SMK Negeri 2 Makassar, Dasrul (52), menjadi korban penganiayaan olah siswa dan orangtua siswa tersebut.
FENOMA pendidikan Indonesia kurun waktu belakangan ini perlu mendapatkan perhatian serius. Pasalnya, kekerasan dalam dunia pendidikan, jika dulu selalu dipersepsikan antara siswa senior dengan junior, kini telah mengubah arahnya menjadi kekerasan terhadap guru yang dilakukan oleh oknum orangtua dikarenakan merasa tidak senang anaknya mendapat hukuman dari sang guru di sekolah. Kekerasan terhadap guru seperti fenomena gunung es, kasusnya banyak tapi yang muncul di permukaan hanya beberapa saja.

Profesi Guru sebenarnya dilindungi oleh Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru. Undang-undang dan peraturan Pemerintah yang melindungi guru perlu diperhatikan oleh murid dan wali murid, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Dalam pasal 39 ayat (1) Peraturan pemerintah tentang Guru menyatakan guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didik yang melanggar norma kesusilaan, norma kesopanan, dan peraturan tertulis maupun tidak tertulis.

Peraturan tertulis maupun tidak tertulis itu dapat ditetapkan oleh guru, peraturan tingkat satuan pendidikan dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran. Masih dalam pasal yang sama ayat (2) menyebutkan sanksi yang diberikan guru dapat berupa teguran dan atau peringatan baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya dalam pasal 40 berbunyi "Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/ atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing". Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi serta keselamatan dan kesehatan kerja.  

Disamping perlindungan dalam menjalankan tugas, guru juga berhak mendapatkan perlindungan hukum. Hal itu diatur dalam pasal 41 Peraturan Pemerintah tentang Guru. Dalam pasal 41 berbunyi "Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi dan pihak lain".

Jika mengacu pada diktum tersebut, maka tidak sepatutnya orangtua peserta didik dengan segala jabatan yang melekat pada dirinya untuk melakukan tindak kekerasan terhadap guru hanya karena merasa tidak senang anaknya diberi sanksi hukuman oleh guru di sekolah. Saya tidak bisa membayangkan, ketika sanksi yang diberikan oleh guru kepada siswa dapat dengan mudah dikatakan sebuah penganiayaan maka dapat dipastikan proses pendidikan Indonesia dalam kurun waktu mendatang akan mengalami tuna etika dan tuna norma.

Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu segera dilakukan kajian kembali agar persoalan kekerasan terhadap guru tidak terus menerus terjadi. Pertama, antara Kemendikbud, PGRI, Komnas HAM dan KPAI perlu melakukan sinergi terhadap indikator bentuk kekerasan seperti apa yang dikatakan dapat melanggar hak azasi anak. Harus ada penegasian terhadap sanksi yang diberikan oleh guru kepada siswa sepanjang tidak menimbulkan cacat fisik dan cacat mental. Jika hal ini tidak diberikan, maka akan sulit bagi dunia pendidikan untuk menerapkan disiplin kepada siswa karena disaat yang sama ia akan berhadapan dengan hak azasi anak.

Kedua, membangun kesadaran pada diri orangtua bahwa overprotective (pembelaan/ perlindungan berlebihan) terhadap anak akan berdampak buruk bagi perkembangan sikap dan mental si anak. Jika memang anak melakukan sebuah kesalahan dan pantas mendapat hukuman dari guru, maka biarkan hukuman itu berjalan dan tugas orangtua hanya memastikan bahwa hukuman yang diberikan guru tidak sampai menimbulkan cacat fisik maupun cacat mental. Andai orangtua memahami hal tersebut dan bersedia bekerjasama dengan sekolah, yakinlah bahwa siswa tersebut akan tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kematangan sikap dan mental yang baik.
    
Ketiga, membangun kesadaran pada peserta didik bahwa proses pendidikan bukanlah sesuatu hal yang mudah dan instan serta tanpa hambatan maupun rintangan. Proses pendidikan di sekolah adalah miniatur kehidupan manusia di alam semesta. Tugas sekolah, teguran, sanksi dan peraturan yang diberikan oleh guru kepada peserta didik bukanlah tumpukan beban yang harus dihadapi dengan rasa emosional. Itu semua adalah tantangan yang harus diselesaikan dengan hati yang jernih dan lapang. Peserta didik juga harus menyadari, jika kelak ia memperoleh keberhasilan dalam karirnya maka orang yang pertama kali mendapat pujian adalah orangtuanya sendiri dan tak jarang peran guru dikesampingkan. Semua guru akan menyadari hal itu, namun mereka tetap memiliki kebesaran jiwa dalam mendidik anak muridnya.

Jika ketiga hal tersebut di atas dapat saling bersinergi, insya Allah kita akan menemukan pendidikan Indonesia dalam satu dasawarsa menjadi pendidikan yang kompeten, berakhlak dan mulia. Membangun kewibawaan pendidikan bukan hanya tugas sekolah dan PGRI, seluruh komponen harus terlibat. Selama masih ada nafas dalam kehidupan, maka selama itu pula proses pendidikan akan terus berlangsung.

M. Abrar Parinduri, MA
Sekretaris Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah  [***]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA