Berbagai macam persepsi pun bermunculan salah satunya ialah mengenai stigma bahwa pesantren adalah sarang teroris, sebab pelaku teror di jalan Tamrin Jakarta tersebut merupakan salah satu "alumni" yang pernah mendalami ilmu di pesantren.
Tentu saja stigma ini hanyalah berita suram yang tanpa didasari dengan suatu kenyataan. Kalaupun pelaku teror itu pernah nyantri, sudah pasti bukan pesantren yang menjadikannya demikian. Sebab, setiap orang yang pernah nyantri pasti mengetahui bahwa pesantren tidak mengajarkan kurikulum yang berlwanan dengan negara.
Pendidikan pesantren tak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah umumnya yakni bertujuan untuk mencerdaskan bangsa. Bahkan pesantren memiliki kelebihan serta ciri khas tersendiri baik dari aspek keilmuan maupun segi perilaku individu dan sosialnya.
Pertama, setiap santri selalu diarahkan untuk tidak mahir dalam wilayah pikiran semata, melainkan agar mendapat ilmu yang berkah. Keberkahan inilah yang menjadi ciri utama etos keilmuan pesantren. Artinya, setiap santri diwajibkan untuk bersikap rendah hati dan taat kepada Kiai, Ustadz atau Gurunya. Dengan kata lain, suatu kemustahilan apabila pelaku teror dengan segala kejahatan dan penindasannya didapati di pondok pesantren.
Kedua, pondok pesantren merupakan lingkungan berasrama yang 24 jam diarahkan untuk selalu ber-amal shaleh. Mereka yang melanggar aturan ini segera akan dihukum agar pelanggarannya tersebut tak diulangi kembali. Sederhananya, Amal Shaleh sangatlah ditekankan. Amal shaleh merupakan perilaku sosial untuk berbuat baik kepada setiap manusia. Kurikulum ini tentunya merupakan kelebihan tersendiri dari sekolah umum yang hanya dapat memonitoring muridnya selama beberapa jam. Apabila setiap orang mengetahui hal ini, apakah masih mungkin dapat dikatakan bahwa pesantren merupakan sarang teroris ?
Tak hanya itu, Secara historis pesantren juga merupakan kunci penting lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia. Segenap perjuangan telah dikerahkan demi memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Salah satu perlawanan santri terhadap penjajah yang paling terkenal disebut dengan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Peristiwa tersebut tertanam hingga subur dilubuk hati para santri bahkan hingga sekarang. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selamanya Harga Mati !!
Dengan demikian aksi terorisme yang melanda Indonesia tak dapat dikait-kaitkan dengan dunia pesantren yang penuh warna. Tak satupun pesantren yang berkurikulum untuk menindas apalagi membuat bom. Pesantren hanyalah institut pendidikan sederhana dengan cita-cita luhur yang tentunya sesuai dengan agama dan bangsa.
Dedy Ibmar
Aktivis HMI Ciputat, Penggiat Kajian PIUSH, Alumnus Pon-pes Dar el Hikmah Pekanbaru