Tanggal 5 Januari 2016 beberapa negara Arab Teluk mengikuti langkah Maroko yang lebih dahulu telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran tahun 2009. Namun saat ini tampaknya Maroko memilih jalan tengah walaupun bukan sebagai mediator pereda konflik. Seruan resmi pemerintah Maroko agar kedua belah pihak segera mengakhiri konflik sebagaimana rilis yang disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri Maroko. Sikap tersebut menurut sebagian pengamat dinilai "sikap baru" Maroko, apabila memperhatikan hubungan istimewa antara Maroko dan Arab Saudi selama ini. Berbeda dengan hubungan Maroko dengan Iran yang penuh dengan konflik dan gejolak.
Terdapat perbedaan alasan dalam pemutusan hubungan diplomatik yang dilakukan Maroko dan beberapa negara Arab diatas dengan Iran. Maroko mengambil keputusan itu karena ketidaksamaan pandangan antara Iran dengan Maroko yang mayoritas Muslim Sunni. Sikap Maroko dipicu ketika Ali Khamenei menyebutkan, pemimpin Syiah Iran mempunyai hak istimewa terhadap Bahrain. Maroko menilai Iran selama ini terlalu memaksakan aliran Syiah di masyarakat Sunni yang bermadzhab Maliki yang otoritas agama Islam dipegang oleh Raja yang bergelar Amirul Mukminin. Iran diduga oleh Maroko berupaya keras mengeskpor aliran Syiah untuk menggantikan Sunnah yang mendominasi 34 juta warganya. Hal tersebut terbukti dengan masiv-nya campur tangan Iran dalam penyebaran Syiah terutama di bagian Utara Maroko, khususnya di kota Tanger.
Beberapa negara Arab mengikuti langkah Arab Saudi adalah Bahrain, Sudan, dan Uni Emirat Arab (UEA). UEA menurunkan status hubungan diplomatik dan Kuwait menarik Duta-nya di Teheran. Sebagian negara anggota OIC (Organisation of Islamic Cooperation) juga membatasi hubungan diplomatiknya, dan negara Arab lainnya seperti Qatar tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Sebaliknya, Iran meninggikan tensinya terhadap Arab Saudi. Bahkan tidak sedikit yang memandang bahwa penyerbuan dan pelemparan bom molotov terhadap Kedubes dan Konsulat Arab Saudi di Iran dilakukan dengan sengaja. Hal itu senada dengan pernyataan pemimpin Hizbullah di Lebanon, Hassan Nasrullah yang merupakan kaki tangan Iran di kawasan, meminta supaya para pemimpin Arab Saudi bersembunyi karena aksi balasan paska eksekusi mati pemimpin Syiah Arab Saudi, Nimr Baqir Al-Nimr akan muncul.
Sikap yang sama ditunjukkan dari tetangga terdekat Maroko sebelah Timur, Aljazair juga berupaya menjadi penengah dalam penyelesaian konflik Iran-Arab Saudia saat ini. Berbeda dengan sikap Tunis yang mengecam keras Teheran atas pembakaran Kedubes dan Konsulat Arab Saudi di Iran, dan menilai kejadian itu sebagai "pelanggaran dahsyat" tehadap konvensi Wina, serta Tunis meminta Iran agar memberikan pengamanan penuh untuk misi diplomasi. Sementara itu, bagi Libya dan Mauritania konflik Iran-Arab Saudi kurang mendapatkan perhatian serius karena kedua negara anggota Union Maghrib Arabe (UMA) itu sedang disibukkan dengan berbagai masalah internal dalam negerinya, terutama dalam upaya menjelmakan stabilitas dan keamanan dalam negeri.
Sejak persekutuan UMA didirikan 1989, kelima negara anggotanya (Aljazair, Libya, Maroko, Mauritania dan Tunis) jarang sekali sejalan seirama untuk menjewantahkan tujuan utama pendirian wadah negara Arab yang terletak di Afrika Utara, yaitu satu rasa dan sepenangunggan dalam menghadapi tantangan global baik di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Namun saat ini terdapat kesamaan sikap Aljazair dan Maroko mengenai konflik Iran-Arab Saudi perlu mendapatkan perhatian serius, terutama pemerintah Indonesia yang telah memposisikan dirinya sebagai penengah.
Diplomasi Pemerintah Indonesia yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang telah melakukan kontak dengan Menlu kedua negara itu, Sekjen OIC dan Menlu Rusia harus diapresiasi positif. Kesamaan sikap Pemerintah Indonesia, Aljazair dan Maroko juga yang prihatin dengan memburuknya hubungan Iran dan Arab Saudi. Disamping itu, ketiga Pemerintah menghimbau agar semua pihak dapat menahan diri sehingga situasi tidak menjadi lebih memburuk lagi di Timur-Tengah.
Kapasitas Indonesia sebagai anggota negara OIC dan sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar Indonesia seharusnya lebih aktif memerankan dirinya dalam mewujudkan perdamaian antara Saudi Arabia dan Iran yang semakin memanas. Indonesia dapat menjadi mediator dalam konflik ini karena apabila konflik itu berkelanjutan dan memanas maka tidak hanya konflik dua negara saja dampaknya, tetapi malapetaka besar bagi negara lain di kawasan.
Penulis sadar, berperan sebagai mediator bukanlah hal yang mudah karena kompleksnya permasalahan. Namun upaya tersebut akan sedikit lebih ringan apabila Indonesia bersatu padu bekerjasama dengan beberapa negara OIC terutama anggota UMA dan Turki untuk mencegah korban umat Islam terus bertambah, serta menghindari dampak destruktifnya yang luar biasa bagi kehidupan. Selain itu sudah saatnya dalam penyelesaian konflik internal umat Islam dimediasi oleh negara Islam sendiri, bukan menjadi mega proyek baru untuk penjualan senjata perang Amerika Serikat, Rusia maupun China.
Akhirnya, semoga konflik Iran-Arab Saudi dapat segera diselesaikan dan konflik yang sama tidak terjadi kembali di negara Islam. Untuk itu, semua pihak wajib tidak mencampuri urusan politik dan keamanan dalam negeri negara lain. Juga semua negara Islam harus saling menghargai dan menghormati kekhususan sebuah negara termasuk dalam masalah aliran agar ekpansi satu paham agama ke negara lain tidak terjadi.
Biarkanlah Arab Saudi dan negara mayoritas Muslim Sunnah lainnya dengan ciri Sunnahnya masing-masing dan jangan mengekspor paham Sunnahnya ke negara mayoritas pemeluk Syiah. Sebaliknya Iran, Irak dan Lebanon (Hizbulllah) dengan kekhususan Syiahnya juga berhenti mengekspor keyakinan agamanya ke negara mayoritas pengikut Ahlussunah Wal Jamaah seperti Indonesia dan Maroko.
[***]Arip Rahman
Ketua Majlis Studi Sekte Islamiyah (MASYI) dan Pegiat Politik Timur-Tengah.