Ketika itu Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan pasal-pasal yang disebut sebagai hatzaai artikelen adalah produk kolonial dan sudah sesuai lagi dengan negara Indonesia yang telah merdeka dan merupakan negara hukum yang demokratis, antara lain karena:
Pertama, Pasal 154 dan Pasal 155 memang tidak rasional sebab seorang warganegara dari negara yang merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara dan pemerintahan sendiri kecuali dalam hal makar.
Kedua, Pasal 154 dan Pasal 155 adalah delik formil sehingga terpenuhinya unsur perbuatan yang dilarang cukup dengan selesainya perbuatan tanpa kewajiban negara untuk membuktikan apakah tindakan tersebut telah menimbulkan "rasa permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap penguasa negara," atau tidak.
Karena sifatnya yang karet itulah sehingga almarhum Dr. Adnan Buyung Nasution pernah menyebut bahwa
hatzaai artikelen adalah algojo bagi demokrasi. Yang diancam oleh pasal-pasal tersebut adalah pikiran manusia sebab delik tersebut secara substantif menghukum pikiran rakyat yang berbeda dengan penguasa.
Oleh sebab itu, para pemohon dan kuasa hukumnya termasuk hadirin yang hadir saat itu memang pantas bersorak-sorai dengan pembatalan pasal hatzaai artikelen oleh Mahkamah Konstitusi. Sejalan dengan Putusan No. 6/PUU-V/2007 ini, pada tahun 2006 melalui Putusan 013-022/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi juga pernah menyatakan pasal penghinaan presiden atau kepala negara yang termaktub dalam Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP sebagai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kendati demikian, kebahagiaan para pemohon perkara-perkara di atas tidak berlangsung lama, sebab delapan tahun kemudian, ketentuan pasal penghinaan kepala negara dan hatzaai artikelen itu akan dihidupkan kembali di Indonesia melalui Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Menurut penulis,beleid a-quo melanggar Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur hak setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan infomasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Hal ini disebabkan SE Kapolri No. 06/2015 sama sekali tidak memberikan parameter terukur tentang apa yang dimaksud dengan ujaran kebencian, atau pernyataan seperti apa yang masuk definisi sebagai perbuatan penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan menyebarkan kabar bohong. Peraturan karet seperti ini jelas baik langsung atau tidak langsung berpotensi menyebabkan hilangnya hak warga negara untuk mencari informasi dengan melakukan kriminalisasi terhadap pemberi atau penyebar atau penyampai informasi, termasuk mengancam kebebasan pers atau media massa cetak dan/atau elektronik, melalui: Orasi kegiatan kampanye; Spanduk atau banner; jejaring media sosial; penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi); ceramah keagamaan; media massa cetak maupun elektronik; dan pamphlet. (vide angka 2 huruf h SE No. 06/2015)
Gangguan sekecil apapun terhadap hak atas informasi dan hak menyampaikan informasi demi hukum adaah pelanggaran serius terhadap Pasal 28 jo. Pasal 28 F UUD dan Pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang menetapkan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas. Ketentuan serupa juga dapat ditemukan dalam, dan Pasal 19 ayat (1) dan (2) International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi berdasarkan UU 2/2005.
Bunyi dari Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU No. 2/2005 dikutip sebagai berikut:
Pasal 19 ayat (1): "Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan."
Pasal 19 ayat (2): "Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya."
Oleh karena itu SE Kapolri No. 06/2015 ini sesungguhnya penting untuk diteliti sebagai studi dalam kontras. Di satu sisi, aturan tersebut berniat memberikan petunjuk kepada semua jajaran kepolisian di dalam wilayah Republik Indonesia untuk dapat menangani perbuatan ujaran kebencian seperti hasutan berunsur suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) secara efektif, efisien dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan melalui tindakan preventif maupun pemidanaan (vide angka 2 huruf I SE Kapolri No. 06/2015), namun di lain sisi, peraturan ini justru melanggar UUD sebagai Konstitusi Republik Indonesia; melanggar atau bertentangan dengan peraturan-peraturan lebih tinggi yang dirujuk olehnya (KUHP, UU HAM, UU 2/2005 dan UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam angka 2 huruf f, SE Kapolri No. 06/2015 bahkan masih menyebut perbuatan tidak menyenangkan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai perbuatan yang masih dapat dipidana.
Selain itu, penulis mendapat kesan bahwa pembuatan beleid tersebut dilakukan secara terburu-buru karena mengejar target sehingga isinya saling bertentangan dan tidak sinkron karena dibuat secara tambal sulam atau setidaknya perancangan aturan ini awalnya dibuat untuk mengatasi perbuatan ujaran kebencian berunsur SARA namun dalam perjalanannya menyelinap unsur penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap individu. Hal ini terbukti dari:
Pertama, dalam angka 2 huruf g jo. huruf h disebutkan bahwa ujaran kebencian bertujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas dari aspek: suku, agama, aliran agama, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual, yang antara lain bisa dilakukan melalui jejaring media sosial. Adapun ujaran kebencian di media sosial menurut aturan ini dapat ditindak melalui Pasal 28 ayat (1) UU ITE, padahal pasal ini mengatur mengenai e-trading atau perdagangan online di mana penjual memberikan penjelasan menyesatkan sehingga merugikan pembeli sehingga dalam hal apapun tidak dapat digunakan terhadap perbuatan ujaran kebencian di media sosial.
Selengkapnya dikutip Pasal 28 ayat (1) UU ITE: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik."
Kedua, SE Kapolri No. 06/2015 mengatakan bahwa apabila tindakan preventif berupa mempertemukan dan mendamaikan pihak yang bertikai melibatkan ujaran kebencian, maka kepolisian dapat menyelesaikannya melalui penegakan hukum melalui berbagai pasal di dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian beberapa pasal yang diharapkan SE No. 06/2015 bisa menjadi pegangan penyidik dalam menyidik perkara ujaran kebencian justru berupa delik aduan, antara lain: Pasal 310 jo. Pasal 311 KUHP dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE.
Ketiga, perkara pertama yang diusut olehkepolisian republik Indonesia menggunakanSE Kapolri No. 06/2015 adalah mengenai pertemuan Presiden Jokowi dengan suku anak dalam yang diduga oleh beberapa pengguna medsos adalah settingan atau pencitraan. Padahal tentu saja pergunjingan di medsos perihal apakah Jokowi sedang melakukan pencitraan atau tidak, adalah bukan termasuk ke dalam perbuatan menyebarkan informasi yang bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian, permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE yang menjadi rujukan SE Kapolri No. 06/2015.
Dugaan penulis bahwa raison d’etredi balik SE Kapolri No. 06/2015 adalah sekedar pintu belakang yang digunakan Istana Negara demi menyelipkan pasal penghinaan terhadap kepala negara adalah mempertimbangkan kejadian beberapa waktu lalu di mana Istana Negara mengajukan RUU KUHP yang masih mencantumkan pasal penghinaan terhadap kepala negara yang mendapat penolakan hebat dari masyarakat.
Penulis juga memperhatikan ucapan Menkopolhukam Luhut Panjaitan beberapa hari silam yang mengancam masyarakat untuk tidak membuat meme atau gambar-gambar lucu yang melecehkan Presiden, dan pemerintah tidak segan melakukan penindakan bila menemukan meme penghinaan terhadap presiden yang merupakan simbol negara. Pernyataan Luhut selanjutnya terlalu mirip dengan pertimbangan Kapolri dalam menerbitkan SE Kapolri No. 06/2015 untuk bisa disebut kebetulan karena Luhut mengatakan bahwa pemerintah akan memonitor aktivitas medsos dalam mencegah potensi huru-hara melalui internet, dan bila membuat berita yang tidak ada dasarnya maka pemerintah akan bertindak. Luhut juga mau masyarakat untuk lebih bertanggung jawab atas informasi ataupun komentar yang dipublikasikan melalui media sosial karena pemerintah akan menuntut pertanggung jawaban atas komentar-komentar netizen.
Dengan demikian, pemerintah sesungguhnya telah mendukung kriminalisasi terhadap sebuah hak yang dijamin sebagai suatu hak asasi dalam UUD dan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang juga adalah wujud dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Amat disayangkan bahwa pemerintahan era reformasi yang terpilih karena demokrasi malah baik sengaja maupun tidak sengaja telah merusak dan mendekontruksi alam demokrasi di Indonesia dengan melakukan intimidasi terhadap pendapat-pendapat masyarakat yang tidak disukai. Tampaknya WS Rendra benar ketika mengatakan bahwa reformasi hanyalah perpindahan kekuasaan yang satu ke kekuasaan yang lain tanpa pernah terjadi reformasi budaya, yaitu bagaimana penguasa menempatkan hukum di atas kekuasaan; dan bukan hukum di bawah kekuasaan.
Apabila benar bahwa SE Kapolri No. 06/2015 dimaksudkan sebagai alat untuk menindak "penistaan kepada presiden sebagai simbol negara" maka persoalan ini menjadi amat menarik sebab akan memperlihatkan secara gamblang posisi Indonesia yang sesungguhnya terhadap demokrasi dan hak asasi manusia terutama hak atas informasi, hak untuk berekspresi dan hak berpendapat. Di negara demokrasi manapun yang menganut demokrasi secara konsekuen, maka seorang tokoh publik dan pejabat publik sudah dianggap tidak lagi berhak merasa terhina, tercemar dan ternista.
Kecuali kalau bisa dibuktikan ada unsur itikad jahat untuk memfitnah atau dendam, yang mana sangat sulit dibuktikan hingga gugatan pejabat publik atas dasar pencemaran nama baik di negara lain sering gagal. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Manual IFJ, halaman 6: "Di dalam masyarakat demokratis, aktivitas-aktivitas pejabat publik harus terbuka terhadap pengawasan publik. Pasal pidana mengenai pencemaran nama baik mengintimidasi individu-individu untuk tidak mengungkap kebobrokan para pejabat publik dan oleh karenanya pasal semacam ini bertentangan dengan kebebasan berpendapat."
Patut juga diperhatikan bunyi Pasal 310 ayat (3) SE Kapolri No. 06/2015 terdapat pengecualian bagi penistaan, yaitu jika ternyata si pembuat suatu tulisan melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa karena untuk mempertahankan diri sendiri. Lagipula berdasarkan Pasal 35 s.d. 36B UUD dan Pasal 2 Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan terbukti bahwa simbol negara sebagai identitas wujud eksistensi bangsa dan negara Republik Indonesia adalah bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan. Singkatnya, presiden adalah bukan dan tidak pernah menjadi simbol negara.
Selamat datang, pasal-pasal karet. Bienvenue..haatzai artikelen! [***]
Hendra Setiawan BoenAdvokat dan pengamat kebijakan publik.Â