Kabar Duka dari Negri ber-Asap

Sabtu, 03 Oktober 2015, 06:33 WIB
SETIAP orang menginginkan kehidupan ideal. Hidup yang memberikan kenyamanan, kesejahteraan dan keamanan. Namun yang terjadi kadang sebaliknya, tidak seindah yang dibayangkan dan diharapkan. Bahkan dunia juga sering dirasa memberikan nestapa dan kesengsaraan. Sekiranya hal inilah yang dirasakan oleh masyarakat Sumatra dan Kalimantan yang terkena dampak asap yang tak kunjung selesai.

Seperti di Riau, kebakaran benar-benar telah membumihanguskan seluruh kota dan desa di provinsi itu meskipun tanpa gedung yang terbakar dan tanah yang rata akibat api. Sebenarnya, provinsi dengan sumber daya alam yang kaya itu akan terlihat baik-baik saja apabila jarak pandang tidak diganggu oleh asap tebal.

Asap tebal inilah yang telah berhasil membumihanguskan profinsi tersebut. Bagaimana tidak, hingga saat ini warga Riau yang telah terkena penyakit akibat kabut asap telah mencapai 44.871 orang, para orang tua tak bisa mencari nafkah, anak-anak terpaksa hinggap dirumah tanpa sekolah dan bermain. Sederhananya, kehidupan terpaksa dihentikan entah sampai kapan.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Fisika Pekanbaru menyatakan titik api tertinggi saat ini berpusat di Sumatra dengan 106 titik api. Artinya, kabut asap akan terus saja bertambah. Cuaca juga seolah-olah  ikut menambah beban, karna angin telah menggiring asap hingga meluas ke Singapura dan Malaysia. Akibatnya, masalah malah semakin bertambah.

Tak selesai disitu, Pulau Jawa, Sulawesi, Bali, hingga Papua yang secara geografis lebih jauh ketimbang dua negara tersebut, juga turut merasakan bencana kabut asap itu. Memang asap tak sampai, tapi kabar duka seperti diatas terus saja mengganggu telinga khususnya bagi perantau yang memiliki sanak keluarga di daerah-daerah yang terkena kabut asap. Bagaimana tidak, bencana itu terbilang sangat lamban diselesaikan. Hingga hari ini, lebih kurang dua tahun para perantau selalu mendengarkan keluh-kesah sanak keluarga mereka di sana.

Namun, di balik lingkaran kegelapan hidup pasti selalu tersimpan secercah cahaya yang mampu membalikkan nasib kehidupan. Pemerintah tak bisa tidak menjadi satu-satunya harapan masyarakat untuk meningkatkan devisa kebahagiaan mereka. Pemerintah memang telah melakukan berbagai cara untuk menuntaskan masalah ini. lebih dari 1.000 anggota TNI telah turun membantu untuk memadamkan api, Upaya penegakan hukum terus dilakukan terhadap para pembakar hutan, dan milyaran uang juga telah digelontorkan hangus bersama api yang tak kunjung padam.

Tetapi, upaya-upaya ini dinilai belum sesuai karna sejauh ini pemerintah hanya fokus terhadap bagaimana bencana segera berakhir tanpa mengingat tanggung jawab mereka terhadap korban, yaitu masyarakat itu sendiri. bencana kabut asap bukanlah sesuatu yang dapat terselesaikan secara tiba-tiba, butuh kesabaran dan waktu yang cukup agar masalah ini benar-benar berakhir. Karena itu, seraya berupaya memadamkan api, pemerintah sebaiknya juga fokus terhadap kondisi sosial masyarakat. Asap telah melumpuhkan seluruh aktivitas, masyarakat sebagai korban seharusnya berhak mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah. Tak hanya dari sisi kesehatan, karna yang tidak sakit-pun juga merupakan bagian dari korban.

Dengan demikian, seluruh masyarakat yang terkena asap haruslah dipenuhi kebutuhannya. Mulai dari sisi kesehatan, pendidikan bahkan hingga ke-kehidupan sehari-hari mereka seperti makan dan minum.[***]


Dedy Ibmar
Aktivis HMI Ciputat, penggiat kajian PIUSH serta mahasiswa rantau asal Riau 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA