Akan tetapi perbedaan suku bunga kredit itu tidaklah otomatis menjadi obat yang manjur. Insentif suku bunga kredit yang lebih murah dahulu itu pernah digunakan untuk memperbaiki reboisasi hutan. Pembukaan hutan ternyata diikuti oleh penyimpangan dalam bentuk hutan yang gundul dan tereksploitasi berlebihan, sehingga diperlukan moratorium.
Moratorium pembukaan lahan hutan diperpanjang, karena gagasan menanam kembali hutan yang telah ditebang itu ternyata belum sehebat yang diidamkan-idamkan. Sejuta, bahkan semilyar program penanaman hutan masih diperlukan untuk mengatasi tekanan kebutuhan pembangunan ekonomi dengan cara mengkonversi lahan hutan untuk penggunaan lain.
Perbedaan kredit program bukan saja berpotensi tersimpangkan oleh ketidakcocokan penggunaan kredit, melainkan moral hazard masih dapat terjadi. Pemberian Kredit Usaha Rakyat, maupun berbagai kredit sebelumnya untuk pembangunan pertanian pun mencatatkan tinta buram tentang kredit macet. Antara lain kredit usaha tani di masa lalu. Kemacetan perkreditan itu tercatat dengan baik oleh para kreditur, sehingga debitur yang berada pada posisi tidak mempunyai "track record" yang baik bukanlah menjadi sasaran pemberdayaan perekonomian rakyat.
Di samping itu Bank Perkreditan Rakyat menjadi sulit berdayasaing di tengah keberadaan kredit program tersebut. Oleh karena itu pemberdayaan perekonomian kerakyatan kiranya perlu diikuti oleh penurunan suku bunga bank berlangsung secara keseluruhan, agar moral hazard untuk menyimpangkan penggunaan kredit atas nama kerakyatan itu menurun selama pengawasan penyalahgunaan kredit masih besar. Betapa penyalahgunaan kredit dan kehati-hatian dalam penyaluran kredit di sektor property tahun 1996-1998 di Indonesia menjadi bagian dari sejarah buram perkreditan di Indonesia.
Sumber Perbaikan PendapatanSelain masalah Gini Rasio yang membesar sebagai indikator kesenjangan kaya dan miskin, kemudian pentingnya membicarakan keberpihakan pemerintah pada ekonomi kerakyatan juga ditunjukkan oleh upah riil buruh tani per hari yang masih juga turun. Upah riil tersebut pada Juni 2015 turun sebesar 0,66 persen. Upah riil juga terjadi menurun pada pekerja sektor informal, seperti buruh bangunan harian, pemotong rambut wanita, dan pembantu rumah tangga.
Suku bunga bank yang ketinggian juga bukanlah obat untuk menahan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Pada bulan Juni 2015 kembali terjadi depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 0,58 persen. Depresiasi yang diidamkan mampu menaikkan nilai ekspor ternyata gagal terwujudkan. Hal ini ditunjukkan oleh kinerja nilai ekspor Indonesia yang masih turun sebesar 12,78 persen pada Juni 2015 dibandingkan tahun sebelumnya. Artinya kebijakan suku bunga bank yang ketinggian masih kalah untuk menstabilkan niali tukar rupiah.
Demikian pula suku bunga bank tersebut juga kalah digunakan untuk menurunkan laju inflasi tinggi. Laju inflasi bukan Juni 2015 itu sebesar 0,54 persen, atau 7,26 persen "year on year". Angka tersebut masih lebih besar dibandingkan ambang batas inflasi tertinggi bulanan yang sebesar 0,42 persen, atau sebesar 5 persen "year on year."
Meskipun laju inflasi ketinggian, namun tingginya tarikan kenaikan harga-harga itu tidak dinikmati sebagai sumber pendapatan ekonomi kerakyatan untuk buruh tani di perdesaan, maupun buruh bangunan, pemotong rambut wanita, dan pembantu rumah tangga tadi di sektor informal perkotaan.
Di samping itu ketika harga komoditi ekspor yang mulai meningkat dalam 1-2 bulan terakhir di pasar internasional, juga tidak dinikmati oleh pekebun. Padahal sektor perkebunan merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi kerakyatan di luar Pulau Jawa. Misalnya, indeks harga karet bulan Maret 2015 sebesar 115,6 telah naik menjadi 122,60 pada bulan Mei 2015 di pasar internasional.
Akan tetapi harga karet di perdesaan justru masih turun dari Rp 7500 bulan Mei ke Rp 7000 per kilogram pada Juni 2015. Perkembangan harga karet yang terintegrasi antara di pasar internasional dan di sentra produksi perdesaan itu diharapkan menjadi sumber pendapatan untuk pekebun di perdesaan ketika harga CPO di pasar internasional masih turun.
Sugiyono Madelan
Peneliti INDEF dan dosen Universitas Mercubuana