Kabinet Kerja dan Kelompok Minoritas

Minggu, 30 November 2014, 07:56 WIB
KABINET Kerja bentukan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden (Wapres) Muhammad Jusuf Kalla (JK) sangat unik. Pasalnya, susunan Kabinet Kerja berbeda 180 derajat dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Selama 10 tahun masa pemerintahan Presiden SBY, selalu ada perwakilan etnik Tionghoa di dalam kabinet. Sebut saja Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Marie Elka Pangestu, yang berasal dari etnik Tionghoa.
Bahkan Marie pernah menjabat Menteri Perdagangan di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid I. Namun, Kabinet Kerja tidak memiliki perwakilan etnik Tionghoa di dalamnya.

Hal ini tentu bertentangan dengan ciri khas PDIP, partai asal Presiden Jokowi, yang selalu mengedepankan jargon pluralisme dan kebhinekaan dalam kampanye-kampanye politiknya. Bahkan di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terdapat menteri dari etnik Tionghoa.

Sebut saja Menteri Koordinator Perekonomian (1999-2000), Kwik Kian Gie di era Gus Dur. Kwik juga menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di era Megawati. Tentu situasi ini membuat publik bertanya-tanya, ada apa dengan PDIP dan Presiden Jokowi.

Bahkan tidak ada perwakilan menteri dari minoritas Konghucu, Buddha, Syiah, Ahmadiyah, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Aliran Kepercayaan dalam Kabinet Kerja di era Jokowi-JK.
Padahal di masa kampanye Pemilu Legislatif (Pilleg) dan Pemilu Presiden (Pilpres), isu minoritas beredar sangat luas di tengah publik. Khususnya, tentang keterwakilan kelompok-kelompok minoritas dalam kabinet Jokowi-JK jika berhasil memenangkan Pilpres 2014.

Boleh jadi, ketiadaan perwakilan minoritas dalam Kabinet Kerja merupakan kompensasi sekaligus konsekuensi logis dari perjalanan karier politik Jokowi di Kota Solo dan Provinsi DKI Jakarta.

Di Provinsi DKI Jakarta, Jokowi menggandeng Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), etnik Tionghoa yang beragama Kristen. Sedangkan di Kota Solo, Jokowi mengandeng FX. Hadi Rudyatmo sebagai Wakil Wali Kota Solo.

Terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta telah meningkatkan status Rudyatmo sebagai Wali Kota Solo. Begitu pula saat Jokowi terpilih sebagai Presiden. Secara otomatis Ahok meningkat statusnya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Konsekuensi dari realitas politik ini adalah tidak terwakilinya sejumlah golongan minoritas dalam Kabinet Kerja di era Jokowi-JK.

Tampaknya, Jokowi ingin menjaga keseimbangan politik sekaligus mengambil hati kelompok mayoritas di Indonesia, khususnya ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU). Itu sebabnya ada delapan menteri di Kabinet Kerja yang berasal dari warga Nahdliyin.

Sebut saja Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa (Muslimat NU); Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi, Marwan Ja'far (LPNU/ PKB) dan Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Hanif Dhakiri (PMII/ PKB).

Lalu, ada pula Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhammad Nasir (ISNU); Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) Imam Nahrawi (PMII/ PKB); Menteri Pertahanan, Ryamirzard Ryacudu (Jatman NU); Menteri. Pertanian, Amran Sulaiman (IPNU); dan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin (Lakpesdam NU/ PPP).

Bahkan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Nusron Wahid (PMII/ GP Anhor/ Golkar), juga warga Nahdliyin. Begitu pula Wapres JK yang juga Mustasyar (Penasihat) PBNU.



Muhammad Ibrahim Hamdani

Asisten Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia (UI).
Alumnus Ilmu Politik FISIP UI.
Anggota Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA