Esensinya, merevisi agar dikembalikannya proses pemilihan Bupati/Walikota dan Gubernur kepada kekuasaan perwakilan melalui DPRD. Partai politik yang mendukung revisi tersebut menilai ongkos demokrasi Pilkada langsung sangat besar dan rawan terhadap keamanan masyarakat. Di lain pihak, aktivis pro demokrasi menilai hal tersebut sebagai langkah mundur, termasuk Busyro Muqodas (salah satu pimpinan KPK) menilai dikembalikannya proses Pilkada ke proses perwakilan akan menyuburkan korupsi di tingkatan elite eksekutif dan legislatif.
Saya berpandangan, kedua pihak memiliki alasan yang logis dan baik jika ditinjau masih terhadap prosedural demokrasinya. Namun, dalam pandangan berbeda terkait masa depan bangsa dan cita-cita bernegara menuju masyarakat yang Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, perlu sebuah tinjauan. Apakah negara ini hanya memerlukan lahirnya seorang pemimpin melalui mekanisme/proses demokrasi yang transparan atau ada proses lebih maju terkait kaderisasi dan musyawarah mufakat dalam rangka menjaga ideologi bangsa?
Dengan proses demokrasi yang diklaim transparan dan bebas (saya tidak gunakan istilah liberal) siapa pun berhak untuk dipilih dan memilih asal dia Warga Negara Indonesia (WNI) asli. Selanjutnya, ketika bertanding dalam Pilkada, asal cukup dukungan Parpol pengusung atau administratif keterwakilan melalui Calon Independen, seseorang berhak menjadi kepala daerah.
Berikutnya, dimainkanlah gimik ganteng/cantik, populer, kaya, merakyat, dan sebagainya agar dapat memenangkan kontes. Rakyat pun terkesima karena kemenangan yang diperoleh ditetapkan atas dasar angka-angka, 50 persen plus satu (atau suara tertinggi). Dan cara ini paling populer dan terus dikembangkan dari sistem demokrasi ala Barat. Dimana hal ini, saya tidak dapatkan referensinya dari para founding fathers seperti H.O.S Cokroaminoto, Sjahrir, Bung Karno, Hatta, dll yang mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam menjaring seorang pemimpin.
Sistem keterwakilan rentan terhadap politik uang di antara parpol pengusung di parlemen. Yang lebih kental adalah lobi-lobi politik dan negosiasi. Namun, perkembangan demokrasi Tanah Air saat ini membuat langkah tersebut tidak se-brutal parlemen ketika negeri ini terjebak dalam euforia reformasi. Parpol semakin modern dan mengetatkan proses kaderisasinya terutama terhadap pemahaman ideologi dan komitmen politik kebangsaan. Tidak bisa berbuat seenaknya mengambil langkah politik, karena media massa dan publik ikut mengawasi. Sekali saja tergelincir, akan diadili dengan rontoknya suara pemilih di pemilihan umum (Pemilu).
Pemimpin Ideologis vs Syahwat MemimpinKonsentrasi tulisan saya adalah bahwa siapa pun boleh lahir dan menempati posisi pemimpin di negeri ini, tapi tidak untuk siapa saja yang ingin dan menginginkan. Pemimpin harus lahir dari proses kaderasi yang jelas. Bagaimana cara pandang dan komitmennya terhadap NKRI, Pancasila, UUD 45 dan Bhinneka Tunggal Ika. Bukan dalam sebuah kemasan yang hanya akan mengumbar syahwat kekuasaan dan bukan pula diciptakan atas dasar keinginan sehingga melahirkan pemimpin boneka.
Tugas pemimpin besar adalah membangun partai negara yang patriotik dan kader. Bukan partai politik salon dan akan mengubur masa depan bangsa ini. Bayangkan, jika pemimpin yang lahir cenderung karena keinginan pribadi dan atas dasar kelompok yang menginginkan saja, maka segala macam cara akan menyatu dalam proses tersebut. Duit-duit haram hasil jarahan, judi, atau bahkan dari negara lain yang memiliki kepentingan besar terhadap kekayaan negeri ini akan melebur menjadi satu. Tidak ada kaderisasi pemimpin berdasarkan ideologi Negara. Yang ada rekrutmen pemimpin atas dasar prosedural tahapan demokrasi/Pilkada. Asal cukup syarat, silakan maju dan jadi.
Atau kita harus kembali merenungkan peran serta dari keterwakilan yang didesak untuk mendewasakan politik di tanah air? Rakyat yang mengikuti prosedur, hanya terlibat dalam satu hari ketika pencoblosan berlangsung. Namun, publik akan terus dapat merongrong wakilnya di parlemen manakala pemimpin daerah yang dihasilkan salah melalui sistem keterwakilan. Baik terhadap parpol pemenang maupun yang kalah.
Tidak ada kekuasaan mutlak, lahirnya seorang pemimpin (yang apabila salah karena ideologinya menyimpang) selalu bertindak dengan acuan: MAYORITAS RAKYAT MEMILIH SAYA! Karena, yang demikian akan melahirkan TIRANI dalam selimut demokrasi.
KesimpulanSemoga rakyat Indonesia tidak terkecoh dengan wacana pemilihan pemimpin di daerah hanya soal biaya dan korupsi. Tugas KPK untuk menangkal, mengawasi dan menangkap koruptor. Tugas aktivis pro demokrasi untuk mengawasi dan bertindak atas perjalanan demokrasi. Dan tugas parpol untuk melahirkan kader pemimpin yang baik dan punya komitmen ideologi kebangsaan. Yang terpenting dari warisan para pendiri bangsa adalah bagaimana lahirnya pemimpin karena cita-cita dan komitmennya terhadap bangsa yang didasari atas keinginan luhur. Berdasarkan musyawarah dan mufakat serta berdaulat.
Syahrial Nasution,
Sekjen The Founding Fathers House (FFH)