Pendidikan Nasional Vs Budaya Korupsi

Oleh: Dewi Aryani

Rabu, 02 Mei 2012, 09:05 WIB
Pendidikan Nasional Vs Budaya Korupsi
ilustrasi/ist
Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia. Namun yang penting untuk kalian yakini, sebagai pejuang sampai menjelang ajal, sesaat pun aku tak pernah mengkhianati tanah air dan bangsaku, lahir maupun batin. Aku tidak pernah mengkorup kekayaan negara. Aku bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkan setiap langkah perjuanganku. (Ki Hajar Dewantara)

"Education reflects the way a nation is to be built". Pendidikan mencerminkan cara sebuah negara membangun bangsanya. Kira-kira  begitulah yang diucapkan seorang ilmuwan dan akademisi Jepang, Hiromi Naya, dalam sebuah seminar yang diadakan di Universitas Meiji, Jepang.

Apa yang ingin disampaikan Hiromi adalah bahwa pendidikan memiliki peran yang sangat besar dan signifikan dalam pembangunan suatu banga. Setiap bangsa pasti akan memposisikan pendidikan sebagai instrumen paling penting dalam membangun kapasitas sumber daya manusia nya agar dapat berperan serta dalam pembangunan bangsa. Oleh karenanya, arah suatu bangsa dalam menentukan tujuan pendidikan menjadi hal yang sangat penting mempengaruhi pembangunan bangsa itu sendiri.

Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah berucap "Educate the heart, the head, and  the hand!"  Menurut Ki Hajar Dewantara, proses belajar adalah proses mendidik hati, kepala, dan tangan. Hati, kepala, dan tangan merupakan sebuah kiasan untuk merepresentasikan hati nurani, akal pikiran, dan profesionalisme kerja. Oleh karenanya, seharusnya pendidikan setidaknya memiliki tiga tujuan, yaitu transfer of knowledge, change of behavior, and build of integrity.

Transfer of knowledge atau transfer pengetahuan adalah proses transfer ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh pengajar kepada anak didik dengan tujuan agar anak didik secara kognitif mampu memahami suatu fenomena yang dilihat dan dirasakannya. Change of behaviour atau merubah perilaku adalah proses menciptakan perilaku bermoral dan beretikan bagi para anak didik sesuai dengan nilai dan norma yang tertanam dan disepakati oleh masyarakat. Build of integrity atau membangun integritas adalah proses belajar untuk menciptakan pribadi-pibadi pembelajar yang memiliki integritas sehingga tertanam nilai-nilai profesionalisme dalam dirinya.

Ketiga tujuan ini, jika dikaitkan dengan apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, maka tujuan pertama (transfer of knowledge) merepresentasikan proses mendidik akal pikiran, tujuan kedua (change of behavior) merepresentasikan proses mendidik hati nurani, dan tujuan ketiga (build of integrity) menunjukkan proses membangun profesionalisme. Tujuan pendidikan ini harus direalisasikan dan diejawantahkan dalam sistem pendidikan Indonesia.

Lebih dari pada itu semua, tujuan pendidikan ini harus menjadi pedoman dan dipegang teguh oleh seluruh aktor pendidikan di Indonesia sehingga tercipta tujuan pendidikan yang seragam di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan Aristoteles pernah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan seharusnya selaras dengan tujuan Negara. Hal tersebut menggambarkan peran penting pendefinisian tujuan pendidikan oleh Negara.  

Jika kita merefleksikan kondisi pendidikan Indonesia dari sudut pandang ketiga tujuan tersebut, maka dapat terlihat bahwa sampai saat ini pendidikan Indonesia hanya berorientasi pada tujuan yang pertama, yaitu transfer of knowledge. Hal ini setidaknya dapat terlihat dari tiga elemen dalam proses belajar mengajar, yaitu kurikulum, pendidik, dan cara didik. Kurikulum pendidikan Indonesia lebih mengorientasikan kemampuan anak untuk menjawab pertanyaan dibandingkan untuk memahami permasalahan. Oleh karenanya anak didik akan terbiasa menggunakan cara menghafal sebagai cara belajarnya, bukannya memahami permasalahan secara utuh. Akibatnya, pemahaman yang dimiliki anak didik akan terbangun secara parsial dan tidak menyeluruh.  

Hal ini juga diperparah oleh kondisi cara mendidik para pengajar yang lebih memberikan reward dan punishment berdasarkan nilai, bukan berdasarkan proses belajar. Padahal paradigma belajar yang menekankan nilai adalah simbol kesuksesan belajar, justru akan menjerumuskan anak didik karena anak didik akan terorientasi untuk melakukan apapun agar mendapatkan nilai yang tinggi, bahkan bisa jadi dengan cara-cara yang salah seperti mencontek, atau bahkan membeli jawaban.

Jika mencontek, membeli jawaban, atau berbuat kecurangan lainnya dibiasakan sejak dini, maka lama kelamaan anak akan menganggap bahwa hal tersebut adalah sebuah kelaziman, sehingga mengerjakannya adalah sebuah hal yang lazim dan tidak bertentangan dengan norma dan hukum yang berlaku. Mencontek, membeli jawaban, dan berbuat kecurangan lainnya adalah cikal bakal berbuat korupsi di masa yang akan datang. Jika hal tersebut terjadi dan dibiarkan oleh sekolah atau institusi pendidikan, berarti sama saja sekolah atau institusi pendidikan berperan sebagai institusi legal penyemai bibit koruptor Indonesia.

Jika memang benar seperti itu wajah pendidikan Indonesia, maka wajar saja ketika para koruptor saat ini menganggap apa yang dilakukannya hanyalah sebatas pelanggaran atas etika sosial dan bukan pelanggaran atas etika individual. Korupsi dianggap sebagai sebuah kesepakatan sosial yang dilakukan oleh sekelompok orang yang bersepakat untuk "mencurangi" rakyat dan negara dengan cara-cara tertentu. Padahal, pengaruh paling besar yang menggerakan seseorang untuk berbuat adalah berasald ari diri sendiri.  Mungkin bisa jadi, perilaku korupsi yang telah mendarah daging kepada para politisi, birokrat, dan elemen masyarakat lainnya di Negara kita ini, merupakan buah dari ketidaksempurnaan pendidikan Indonesia dalam membentuk karakter mereka semasa menempuh pendidikan dulu.

Pada akhirnya, lahirlah manusia-manusia cerdas yang membodohi rakyat akibat tidak memiliki moral dan etika dalam menjalankan amanah yang sesungguhnya dipercayakan rakyat kepada mereka. Padahal mencetak generasi penerus bangsa yang cerdas dan bermoral sangat mungkin jika dan hanya jika system pendidikan yang dianut oleh Negara dapat memfasilitasi hal tersebut. Kalimat yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara pada bagian awal tulisan ini yang menolak korupsi sebagai bagian dari hidupnya seolah menggambarkan bahwa seorang yang cerdas akal juga seharusnya berakhlak mulia.

Oleh karenanya, pendidikan yang diberikan kepada anak didik harus dapat mengembangkan karakter anak, sehingga sejak dini telah terpupuk karakter jujur dan bertanggung jawab.  John Locke, beratus-ratus tahun yang lalu telah mengemukakan salah satu teorinya yang cukup terkenal dalam dunia pendidikan, yaitu teori tabularasa.

Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi (a sheet ot white paper avoid of all characters). Jadi, sejak lahir anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Baru kemudian melalui proses sosialisasi, baik primer  maupun sekunder, anak  dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini kekuatan ada pada pendidik. Pendidikan dan lingkungan berkuasa atas pembentukan anak.

Berdasarkan hal tersebut,  sekolah atau institusi pendidikan, memiliki peran yang sangat besar untuk mensukseskan tahap sosialisasi primer anak didik ini. Pemerintah melalui institusi pendidikan bertanggungjawab secara penuh untuk menciptakan lingkungan belajar mengajar yang membentuk karakter anak didik yang menolak segala bentuk kecurangan dan pelanggaran, Salah satunya adalah melalui kurikulum anti korupsi.

Kurikulum pendidikan anti korupsi sebenarnya bukanlah gagasan baru. Beberapa tahun yang lalu gagasan atas penerapan kurikulum anti korupsi ini telah diajukan dan coba diterapkan oleh Pemerintah pada beberapa sekolah. Namun dalam pelaksanaannya, gagasan ini hanya angin lalu. Pemerintah dan institusi pendidikan terkesan belum serius dan belum komitmen untuk benar-benar mensukseskan kurikulum anti korupsi ini kepada anak didik.

Oleh karenanya, agar kurikulum anti korupsi ini dapat bertahan dan dijalankan secara konsisten, Pemerintah perlu mencetuskan program ini sebagai gerakan nasional yang harus diikuti dan dijalankan oleh seluruh institusi pendidikan tanpa terkecuali. Perkuat program pendidikan anti korupsi ini dengan memperluas slogan-slogan anti korupsi, seperti yang sekarang mulai banyak dilakukan, yaitu penamaan aset-aset institusi pendidikan seperti kantin kejujuran, perpustakaan transparan, dan ruang rapat tolak suap, dan sebagainya. Namun tentu tidak hanya sekedar slogan semata, ini hanyalah satu dari sekian banyak cara kecil menjadi pengingat soal kejujuran.

Yang tidak kalah pentingnya adalah, paradigma pendidik tentang cara mendidik harus mulai dirubah secara perlahan. Para pendidik harus mulai mengajarkan para anak didiknya dengan cara-cara yang membuat mereka terdidik secara kognitif, afektif, dan konatif. Sehingga kemampuan anak didik tidak hanya sebatas menghafal dan menghitung, tapi juga memahami suatu permasalahan dan mencari solusi atas permasalahan trsebut diantara berbagai alternatif pemecahan permasalahan yang ada. Hal ini perlu dilakukan agar di kemudian hari tercipta generasi penerus yang telah terbiasa menghadapi berbagai persoalan, sehingga dapat mengatasi persoalan dan permasalahan bangsa secara cerdas, professional, dan berhati nurani.

Beriringan dengan perbaikan sistem pendidikan Indonesia yang berorientasi pada pendidikan anti korupsi, Pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan organ-organ yang membantunya tetap harus dijalankan. Lebih daripada itu semua, Pemerintah justru harus lebih berani dan lebih tegas untuk memberantas praktek-praktek korupsi tanpa tebang pilih. Siapa yang bersalah, harus ditindak, tanpa peduli status sosial, pendidikan, dan ekonomi pelaku serta dari partai politik mana berasal.

Serangkaian cara penindakan korupsi ini--mulai dari perbaikan sistem pendidikan dan penegakkan hukum--harus dipadupadankan dan diselaraskan. Perbaikan sistem pendidikan merupakan bentuk preventif persuasif  Pemerintah dalam melahirkan generasi-generasi yang jujur dan berkepribadian kokoh dalam menolak segala bentuk korupsi. Adapun penegakkan hukum merupakan salah satu bentu represif pemerintah dalam memutus mata rantai korupsi.

Oleh karenanya, kedua cara preventif dan represif ini harus dijalankan secara konsisten oleh Pemerintah di seluruh lini kehidupan. Berharap mendapatkan generasi penerus bangsa yang imun praktek korupsi memang hal yang mustahil. Namun berharap melahirkan generasi penerus bangsa yang cerdas, berhati nurani, dan menolak segala bentuk praktek korupsi adalah hal yang sangat mungkin dilakukan.

Mencegah lebih baik daripada mengobati, seolah menjadi kalimat yang tepat untuk menggambarkan bahwa  cara-cara preventif penindakan korupsi melalui pendidikan anti korupsi bagi anak sejak dini menjadi pilihan yang seharusnya diambil Pemerintah mulai dari saat ini, tentunya melalui perbaikan sistem pendidikan Indonesia.Marilah pada peringatan Hari Pendidikan Nasional kali ini, kita tancapkan niat utama untuk bersama-sama memberantas korupsi di mulai dari institusi pendidikan di negeri ini. Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2012.Merdeka!

Penulis adalah Duta UI untuk Reformasi Birokrasi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA