Tentu saja kita prihatin karena era reformasi dinilai tidak menciptakan situasi yang lebih baik dibanding masa sebelumnya. Adanya kisruh di tubuh PSSI yang mengakibatkan kongres yang seharusnya menjadi forum pemilihan Ketua Umum, tidak berjalan semestinya karena Komite Normalisasi yang ditunjuk FIFA untuk melaksanakan Kongres tidak dapat memberikan penjelasan secara gamblang terhadap calon yang didukung mayoritas pemilik suara. Jadi wajarlah bila orang tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dan terang benderang mengenai kenapa mereka dilarang, karena bagaimana pun para calon Ketua Umum tersebut juga punya hak azasi yang sama dengan yang lainnya.
Seharusnya kalau kita
fair, orang sekarang dimana-mana TNI dipasung tidak boleh itu dan tidak boleh ini. Tapi kita lupa dalam sejarahnya, kalau ketua-ketua umum PSSI seratus persen sebelum Nurdin Halid itu dijabat seorang mantan TNI berpangkat Jenderal. Dari hasil kepemimpinan merekalah, prestasi PSSI dapat mencapai hasil yang membanggakan. Kalau ukuran medali, pada tahun 1958 kita dapat medali perunggu SEA Games ketika itu Ketumnya Jenderal Maladi. Lalu yang membongkar skandal suap pertama di republik ini Kolonel Sailan, dan yang memperkenalkan Galatama atau Sepakbola Profesional, Letjen Ali Sadikin.
Prestasi mencengangkan lagi ketika Indonesia nyaris ke Pra Piala Dunia tahun 1976 dengan pimpinan Jenderal Wardosono. Tidak lupa pula Indonesia dapat menyumbangkan emas SEA Games 1987 di bawah pimpinan Jenderal Kardono. Lalu pada SEA Games 1991 Indonesia berhasil menyumbangkan medali emas melalui pimpinan Jenderal Azwar Anas. Begitu dipegang oleh Nurdin Halid dari kalangan sipil kongres mulai pakai duit. Sejumlah prestasi para mantan tentara lalu kenapa orang-orang menjadi sinis pada TNI? Ada apa? Padahal niatan Presiden Soekarno dan Soeharto membawa TNI ke PSSI adalah untuk mengawasi, segala kepentingan seperti penipuan, suap, judi dan kerusuhan dalam organisasi PSSI.
Terkait dengan keputusan FIFA yang akan melakukan sanksi kepada persepakbolaan Indonesia, kita memang bagian dari FIFA, tapi jika kita terus mengikuti keputusannya dan selama ini terbukti keliru, maka kita tidak akan bisa maju. Menurut hemat penulis sebagai bangsa yang berdaulat kita hendaknya meletakkan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi atau kelompok ketimbang menunggu sanksi dari FIFA. Jika Australia yang punya pengalaman dibekukan beberapa waktu yang lalu namun pelan namun pasti sepak bola Australia kini sudah sejajar dengan level Eropa. Apakah kita akan terus saling mempertahankan ego yang akan berdampak suramnya sepak bola kedepan. Ataukah mengalah demi untuk kemajuan PSSI bangsa dan Negara yang kita cintai ini?
M. JayaCiracasJakarta TimurHP. 081310719924[email protected]