Ketua Dewan Pembina DPP Asosiasi Pengembang PerumaÂhan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo mengatakan, rencana relaksasi tersebut merupakan kabar baik untuk industri properti. MenuÂrutnya, kebijakan tersebut bisa menggairahkan sektor properti.
"Kalau diberi kemudahan, meski hanya sesaat, kebijakan itu bisa membantu atau menÂgakselerasi pembangunan (sekÂtor properti-red). Atau bahkan meningkatkan perekonomian bangsa," ujarnya, kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Eddy mengaku, pernah menÂgusulkan LTV 100 persen ke BI pada dua tahun silam. Unek-unek itu dia ungkapkan lantaran penjualan di sektor properti lesu. Sayangnya, bank sentral justru bergeming karena khawatir menÂingkatkan risiko perbankan.
Eddy menilai, BI tidak inÂgin mengulang kesalahannya. Menurutnya, rencana ini muncul ke permukaan karena Gubernur BI yang baru, Perry Warjiyo melihat ada potensi besar jika masyarakat diberi kemudahan memiliki rumah pertama.
Dia mengatakan, saat ini inÂdustri properti belum menunjukÂkan tren positif. Sebab itu renÂcana relaksasi LTV bisa menjadi suplemen untuk mendongrak kinerja. "Tapi memang tingkat kehati-hatian perbankan untuk menyetujui harus lebih cermat. Karena memang risikonya lebih besar," cetusnya.
Selain risiko lebih besar, Eddy menyebut paragidma masyarakat untuk punya rumah bisa berubah. Jika cicilannya lebih murah dari harga sewa, masyarakat berÂpikir lebih baik ngambil rumah ketimbang ngontrak. Namun ketika tidak kuat mengansur, mereka pasrah rumahnya disita perbankan.
"Tapi dengan tingkat kehati-hatian perbankan, yakin dia punya pendapatan cukup untuk memenuhi cicilan, saya rasa nggak ada masalah. Supaya properti baik lagi. Kalau nggak ada sesuatu yang memudahkan, ya kondisinya seperti ini terus, mandek," tuturnya.
Eddy optimis dengan LTV 100 persen, penjualan sektor properti meningkat signifikan.
Multiplier effect yang terjadi adalah penÂingkatan lapangan pekerjaan, dan menggerakkan sektor yang berkaitan dengan properti.
"Artinya jangan hanya melihat ini berbahaya untuk perbankan. Tapi ada dampak psikologis, sepert penjualan semen meninÂgkat. Mereka yang biasa buat batako, kusen, bisa merasakan peningkatan penjualan. Ini bisa menggerakkan ekonomi," kaÂtanya.
Dia mengilustrasikan kredÂit perumahaan rakyat (KPR) dengan bunga 10-20 persen. Jika harga rumah Rp 500 juta, masyarakat harus mengeluarkan Rp 100 juta hanya untuk uang muka. Belum lagi tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) maupun biaya lainnya yang masih harus dikeluarkan.
Menurut Eddy, perbankan bisa memberikan skema meÂnarik. Misalnya, cicilan 2-3 tahun pertama diganjar bunga 1 digit. Sehingga masyarakat akan merasakan cicilan yang ringan di awal, namun besar di akhir. "Nggak apa-apa itu untuk memudahkan, karena setelah 3 tahun pendapatan mereka menÂingkat," imbuhnya.
Lantaran dinilai lebih banyak manfaatnya, Eddy meminta BI harus segera merealisasikan renÂcana tersebut. "Kalau properti tidak bergerak, perekonomian berjalan lambat atau bahkan mandek. Karena dimana-mana, properti itu penggerak pemÂbangunan, karena membidangi banyak sekali industri, termasuk tenaga kerja," tukasnya.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, sekÂtor perumahan akan meningkat dari dua hal dengan relaksasi kebijakan ini. Pertama, pembeli pertama. "Data menunjukkan, untuk apartemen dan rumah tapak, kalangan muda 36-45 tahun itu demand-nya cukup tinggi. Jadi, relaksasi ini akan bisa mendorong sektor peruÂmahan untuk first time buyer," ujarnya.
Kedua, kebijakan ini juga akan mendorong sektor properti dari sisi investment buyer. "Yang punya tabungan yang selama ini disimpan di bank atau yang lain, dengan relaksasi ini memungÂkinkan mereka investasi di sekÂtor perumahan," sebut Perry.
Perry mengungkapkan, reguÂlator tengah menggodok penuÂrunan uang muka dari saat ini. "Apakah memang uang muka perlu diturunkan lagi," katanya. ***
BERITA TERKAIT: