Dalam pertemuan itu, Anies menyatakan, Pemprov DKI dan BI sepakat membentuk tim berÂsama untuk menyusun rincian pengelolaan. BI memberikan skema-skema untuk bisa diskusiÂkan lebih jauh.
"Intinya, BI memberikan duÂkungan sekaligus mengajak untuk buat tim bersama dari Pemprov DKI dan BI," kata AnÂies, di Jakarta, kemarin.
Dari hasil pertemuan ini, PemÂprov DKI akan menyusun detail pengelolaan program rumah murah tersebut. Tim Pemprov DKI akan bekerja sama dengan instansi terkait demi memulusÂkan program tersebut.
"Tentunya, nanti ada kerja sama dengan instantsi PemerinÂtah Pusat lainnya yang memiliki relevansi, terutama dengan KeÂmenterian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kemenkeu (Kementerian KeuanÂgan). Harapannya, program DP nol persen bisa terlaksana lebih efisien, tepat, dan sesuai dengan aturan," ucap Anies.
Hingga kini, skema program DP nol persen itu masih digodok. Sebelumnya, Anies berharap, skema itu bisa matang di akhir 2017. Pasalnya, skema mengacu kepada Peraturan Bank IndoÂnesia Nomor 18/16/PBI/2016 tanggal 29/10/2016 tentang
Loan to Value (LTV) atas KPR dan DP Kendaraan Bermotor. Dalam aturan itu disebutkan, besaran minimal DP rumah yang bisa diberikan dan tidak ada aturan yang memperbolehkan DP nol persen. Pada Pasal 17 Peraturan BI tersebut telah diatur pengecualian terkait pemenuhan terhadap rasio aturan uang muka (
loan to value/LTV)untuk pemÂbiayaan Program Perumahan Pemerintahan Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
"Dengan adanya pengecualian ini, Pemprov DKI berharap proÂgram DP nol persen bisa segera terlaksana," tuturnya.
Gubernur BI Agus DW Martowardojo memastikan, pihaknya menyambut baik keinginan Pemprov DKI itu. Namun, dia mengingatkan bahwa ada beÂberapa hal yang perlu dipikirkan dalam memuluskan program tersebut.
Kata Agus, untuk wilayah Jakarta, cukup banyak tantangan dalam membangun rumah DP nol persen. Pasalnya, pembanÂgunan rumah yang siap huni di Ibu Kota sangat mahal. Lahan, konstruksi, dan finishing-nya butuh biaya tinggi.
"Jadi, untuk di Jakarta, rumah untuk MBR (masyarakat berpengÂhasilan rendah), yang di bawah Rp 350 juta per unit itu cukup sulit diwujudkan. Sebagaimana diatur undang-undang adalah, masyarakat dengan penghasilan di bawah 7 juta per keluarga, cukup membayar cicilan dan bunga di kisaran 30 persen dari penghasilannya, dengan rumah yang lebih mahal," terang Agus di Kompleks BI, Jakarta, kemarin.
Menurut eks Menteri KeuanÂgan ini, sebetulnya konsep pemilikan rumah selalu mengikuti aturan LTV. "Kalau LTV ada di kisaran 90 persen, artinya masyarakat yang akan memÂbeli rumah harus bayar DP 10 persen. Kalau membayar 10 persen, kita juga diskusikan, karena di semua negara misalnya Singapura, Hong Kong, India, semua minimum DP 10 persen," terangnya.
Uang muka bagi calon debiÂtor merupakan komitmen untuk membayar cicilan rumah dan menunjukkan bahwa dia beruÂsaha untuk rumah tersebut tetap dimiliki. Bagi bank, DP untuk meyakinkan bahwa transaksi kreditnya aman. Bagi pengemÂbang, mendapatkan DP 10 persÂen menjadi tanda serius untuk membantu
cash flow (aliran dana) pembangunan.
"Nah, karena di banyak negara DP sama seperti BIatur. Kami menjelaskan, sebetulnya proÂgram negara itu ada, boleh DP itu sampai 1 persen dan itu prasyaratnya haruslah program yang dilaksanakan PemerinÂtah seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), subsidi bunga, atau subsidi uang muka," tambahnya.
Agus menjelaskan, program Pemprov DKI semestinya seÂjalan dengan program PemerinÂtah Pusat. Tujuannya, agar ada kerbersamaan antara Daerah dan Pusat dalam upaya memÂberikan fasilitas ke MBR.
"Kalau seandainya Pemprov ingin memberikan pembiayaan kepada MBR, itu perlu dimasukÂkan dalam program Pemda, dengan dibuat Perda dan meliÂbatkan APBD, dan sudah masuk kategori program Pemprov. Kalau sudah masuk program Pemprov, kami tidak keberatan, LTV bisa turun 90 persen atau 85 persen ke yang lebih rendah untuk MBR dan ada kategori itu program Pemerintah setidaknya ada di APBN atau APBD," terangnya.
Untuk itu, Agus meminta AnÂies bersama timnya menyusun skema yang tepat, kemudian mendiskusikan agar rumah di atas Rp 350 juta masuk ke program rumah murah. Namum, ia juga mengingatkan bahwa masyarakat penghasilan maksimal Rp 7 juta hanya bisa membayar rumah dengan harga 240 juta.
"Bagaimana caranya untuk membangun suatu struktur, agar rumah itu harga dengan Rp 240 juta rumah itu dengan bentuk rusunawa (rumah susun sewa) menjadi rusunami (rumah susun hak milik) dengan aturan perubahannya. Sehingga, jika direalisasikan, bisa lebih tepat strukturnya dan bisa mencapai 50 ribu unit per tahun," tambahÂnya. ***