Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Peran para Bandit Revolusioner

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jimmy-h-siahaan-5'>JIMMY H SIAHAAN</a>
OLEH: JIMMY H SIAHAAN
  • Rabu, 12 Februari 2025, 03:19 WIB
Peran para Bandit Revolusioner
Ilustrasi/RMOL
BANDIT merupakan sebuah fenomena di Jawa pada tiga abad yang lalu merupakan para perampok dan penyamun. Mereka tidak jauh berbeda dibandingkan penguasa. Garis antara perompak dan pemberontak cenderung samar. 

Penyamun juga sering terlibat, bahkan memimpin pemberontakan. Ken Angrok, pendiri kerajaan Singosari, tadinya adalah seorang penyamun.

Mochtar Lubis dalam bukunya berjudul, ‘Jalan Tak Ada Ujung’ bercerita tentang peran para bandit. Peneliti Onghokham, Sartono Kartodirjo dan Michael Williams serta Anton Lucas juga menunjukkan besarnya peranan para bandit dalam sejarah Indonesia.

Kata "Garong" dan kaitannya dengan pencurian pertama kali muncul pada tahun 1945 atau masa-masa Perang Kemerdekaan. Di era yang tidak kondusif tersebut, banyak orang memanfaatkan situasi untuk melakukan tindak kriminal pencurian. Biasanya para pelaku bergerak berkelompok dan tidak terafiliasi dengan pihak tentara Indonesia atau laskar.

Nah, mereka menamai identitas diri sebagai kelompok garong. Penamaan ini kemudian ditanya oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang kebetulan di era awal kemerdekaan sempat menjadi tentara di Cikampek dan bersinggungan dengan mereka. 

"Itu aku pertama kali dengar kata garong. Jadi, kutanyakan apa artinya. Jawabannya: singkatan dari gabungan romusha ngamuk," kata Pram di Jalan Raya Pos, Jalan Raya Daendels (1995)

Pram mengaku kaget mendengar jawaban tersebut. Dia kira itu berasal dari bahasa Jawa, ternyata singkatan kalimat dari gabungan romusha ngamuk. Lebih lanjut, Pram menceritakan kelompok garong melakukan perampokan karena ketiadaan otoritas bertindak. 

"Dalam vakum kekuasaan, mereka melakukan perampokan di mana-mana," tulis Pram. 

Atas dasar inilah, mereka unjuk kekuatan menggunakan senjata api untuk melakukan pencurian. Kelompok garong tak hanya ada di daerah sekitar Jawa Barat, ternyata juga ada di daerah lain, termasuk Jawa Tengah. 

Hal ini diungkap oleh sejarawan Anthony E. Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah (1989) yang memfokuskan penelitian di Jawa Tengah. Dalam risetnya, terungkap ada garong-garong di Brebes, Tegal, dan Pemalang. Para garong biasanya beraksi menggunakan jimat supaya bisa kebal.

"Jimat mereka membuat kuat. Ini memberikannya kekebalan," ungkap Anthony. E Lucas. 

Akibat aksinya, para penguasa dan pemimpin lokal, mengasosiasikan garong sebagai kelompok penjahat. Posisinya sama seperti perampok dan begal yang meresahkan. Alhasil, para garong selalu ditakuti warga dan menjadi musuh bersama. Pihak Indonesia dan Belanda sama-sama membasmi garong karena meresahkan. 

Sejak saat itu, garong barangkali terasosiasikan dengan pencuri. Sebelumnya, masyarakat Indonesia menyebut pelaku pencurian sebagai pencuri, penyamun, maling, dan sebagainya. Kini, kelompok tersebut menjadi kata ganti untuk menyebut pencuri, maling, dan rampok. Dan ternyata, kata tersebut bukan sebatas kata, tetapi singkatan dari gabungan romusha ngamuk.

Kusni Kasdut, Seorang Pejuang 10 November 1945

Sebuah Novel karya Parakitri (Simbolon) ini ditulis berdasarkan penuturan Kusni Kasdut. Novel ini mengajak kita menanyakan kembali tentang siapa pahlawan dan siapa penjahat. Hal itu berkisah ketika Kusni Kasdut alias Ignatius Waluyo dieksekusi pada tanggal 16 Februari 1980. 

Kusni Kasdut mengubah namanya menjadi Ignatius Waluyo. Di akhir hidupnya, setelah merasa tidak mungkin melarikan diri lagi – Kusni Kasdut setidaknya melakukan upaya melarikan diri sebanyak 8 kali, ia menjadi sadar bahwa kebanggan dirinya adalah jika ia berguna bagi orang lain. Itulah sebabnya, perjumpaannya dengan Agama Katolik membuatnya menjadi lebih tenang.

Siapakah Kusni Kasdut? Apakah dia seorang penjahat atau seorang pahlawan? Ia seorang penjahat karena terbukti merampok dan membunuh. Tetapi ia juga seorang pejuang yang ikut berperang melawan Inggris dan Belanda. Si Kancil – demikian julukan yang diberikan oleh sahabat-sahabatnya sesama pejuang, adalah seorang prajurit yang lincah, berani dan setia kawan.

Identitas masa kecilnya yang tidak jelas dan kekecewaannya terhadap negara telah membuat Kusni Kasdut melampiaskannya dengan jalan kekerasan. 

Ia tak berhasil mencari kebanggan dari asal usulnya. Kusni kemudian mencari kebanggannya dengan cara ikut berperang. Ia merasa punya arti saat bergabung menjadi Heiho. Namun perlakuan kasar dan penuh penghinaan dari orang-orang Jepang membuatnya marah. Itulah sebabnya ia memutuskan untuk berhenti dari Heiho dan kemudian bergabung dengan laskar Malang yang ikut berperang melawan Inggris di Surabaya dalam peristiwa 10 November 1945.

Selanjutnya Kusni bergabung dengan “Devil’s Army menjadi staf Pertempuran Ekonomi.” Demi membiayai para laskar untuk berperang, Kusni melakukan perampokan keluarga Cina di Gorang-gareng Madiun. Ia tidak peduli bagaimana hasil rampokannya ini dipakai. Ia hanya merasa bahwa telah berjasa memberi sumbangan emas hasil rampokan bagi perjuangan. Kusni juga berhasil mencuri senjata, peluru dan obat-obatan di wilayah demarkasi Belanda di Malang. Akibat dari perbuatannya tersebut, Kusni tertangkap dan kakinya tertembak.

Namun semua perjuangannya bagi Republik itu tak membuatnya diterima menjadi anggota tentara. Hanya karena kakinya cacat dan dia tidak terdaftar sebagai anggota laskar manapun, maka ia gagal menjadi tentara. Kegagalannya itu membawa kekecewaan mendalam.

Kusni bukannya tidak berusaha untuk hidup normal. Ia berusaha untuk masuk menjadi tentara. Ia juga berusaha untuk mencari pekerjaan melalui program Pemerintah untuk memberikan peluang kerja bagi para mantan pejuang. Kusni juga berusaha untuk menjadi Tenaga Bantuan Operasional (TBO) di Manado  dan berupaya menjadi sukarelawan konfrontasi Indonesia-Malaysia ke Kalimantan Utara. Namun semua upayanya tersebut gagal.

Kegagalannya menjadi tentara, menjadi TBO, menjadi sukarelawan dan tidak berhasil mendapatkan pekerjaan dari Biro Rekonstruksi Nasional, membuat Kusni memutuskan untuk melakukan perampokan. Ia terlibat dalam tiga perampokan. Pertama adalah perampokan keluarga dokter Cina di Surabaya dan kemudian perampokan seorang pengusaha Arab bernama Ali Badjenet. 

Perampokan berlian di Museum Nasional pada tanggal 30 Mei 1963 adalah perampokan terbesar dan terakhir yang dilakukannya. Perampokan pengusaha Arab dan perampokan berlian di Museum Nasional membuatnya tertangkap.

Selain dari kekecewaan masa kecil, kekecewaan atas perjuangannya bagi Republik yang tidak dihargai, Kusni juga mempunyai kekecewaan terhadap hubungannya dengan perempuan. Kusni sangat kecewa dengan ibunya yang berupaya menyembunyikan masa lalunya.

Kusni dikenal sebagai penjahat yang sudah memikirkan bagaimana caranya melarikan diri dari penjara, sejak menit pertama ia masuk ke sel. Dan Kusni terbukti menjadi seorang yang mampu melarikan diri dari penjara; baik saat sebagai pejuang maupun saat menjadi perampok. Kusni beberapa kali berhasil melarikan diri dari penjara, sampai akhirnya ia merasa tak mampu lagi lari karena kakinya dirantai dan dijaga sangat ketat.

Perbuatannya membuat pigura dan salib dari sobekan kain secara iseng, membuatnya bertemu dengan keteduhan. Padahal sobekan kain itu awalnya direncanakan untuk melarikan diri. Namun sobekan kain itulah yang justru berhasil membuat ia lari dari kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya. 

Perasaan senang melihat para petugas penjara yang bergembira menerima buah tangan darinya, membuat ia tersadar. Ternyata ada juga sesuatu perbuatannya yang membuat orang lain bahagia. Akhirnya Kusni memutuskan untuk tidak lagi berupaya melarikan diri. Ia memutuskan untuk menjadi seorang Katolik dan mengganti namanya menjadi Ignatius Waluyo. 

Kisah Imam Syafe'i alias Bang Pe'i

Seorang bandit kawasan Senen, pernah diangkat jadi Menteri Negara Keamanan Rakyat oleh Presiden Soekarno. Dengan menyandang pangkat Letnan Kolonel.

Sebagai anggota Kabinet Dwikora II, posisi Menteri hanya berlangsung 1 bulan. Dilantik tanggal 24 Februari 1966 hingga 27 Maret 1966. Kabinet Dwikora, terkenal dengan Kabinet 100. Beliau meredam keganasan para bandit di Jakarta, setelah kemerdekaan.

Imam Syafe'i wafat tanggal 9 September 1982. Pada saat pemakaman Jenderal AH Nasution memberikan sambutan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Kisah Kusni Kasdut berakhir di regu tembak mati. Sebagai seorang Penjahat. Sedangkan Imam Syafe'i dilepaskan regu tembak salvo, meninggal  sebagai pahlawan. rmol news logo article

*Penulis adalah Eksponen 77/78

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA