Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara Seminar Hari Migran Internasional 2025 di Harmoni One Convention Hotel, Batam, beberapa waktu lalu.
“Setiap tahun kami menerima pengaduan dari awak kapal perikanan yang hak-haknya diabaikan. Ini menjadi alarm bahwa perlindungan hukum bagi mereka masih sangat lemah,” ujar Asensius dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Senin, 22 Desember 2025.
Pria yang akrab disapa Romo Yance ini menegaskan pentingnya pemerintah Indonesia segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 (C188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.
Menurutnya, ratifikasi tersebut bukan sekadar formalitas, melainkan kebutuhan mendesak untuk menghadirkan standar perlindungan yang jelas bagi AKP Indonesia, baik yang bekerja di kapal berbendera Indonesia maupun asing.
“Indonesia sampai hari ini belum punya standar perlindungan khusus untuk awak kapal perikanan. Ketika terjadi masalah, kita tidak punya acuan yang kuat untuk menyelesaikannya,” tegasnya.
Romo Yance memaparkan realitas pahit yang dialami banyak AKP Indonesia. Berdasarkan pendampingan langsung di lapangan, ia menemukan praktik eksploitasi sistematis, termasuk kondisi kerja yang tidak manusiawi di laut lepas.
“Saya pernah dikirimi video dari Tongshan, China. Awak kapal perikanan Indonesia di sana bilang, ‘Pater, kami hampir mati kelaparan. Kami minum air hujan. Tolong bantu kami’,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, banyak AKP terisolasi di laut selama enam bulan hingga lebih dari satu tahun tanpa komunikasi dengan keluarga. Masalah kontrak kerja juga menjadi persoalan berulang.
“Mereka tanda tangan kontrak dua tahun, tapi setelah enam bulan kerja di kapal ikan Taiwan, langsung dipulangkan. Ini sangat merugikan ABK, karena untuk berangkat saja mereka harus meminjam uang puluhan juta rupiah,” bebernya.
Menurut catatan Stella Maris Batam, biaya perekrutan AKP bisa mencapai lebih dari Rp20 juta. Bahkan, ada AKP yang tidak menerima gaji hingga 14 bulan.
“Saya pernah menangani kasus ABK yang tidak digaji selama 14 bulan. Akibatnya, dia diceraikan istrinya karena tidak pernah mengirim uang. Ini bukan cerita, ini kejadian nyata,” tegasnya lagi.
Dukungan terhadap ratifikasi ILO C188 juga disampaikan oleh perwakilan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Albert Bonasahat. Ia menilai ratifikasi tersebut sebagai tonggak penting untuk memperkuat komitmen negara dalam melindungi awak kapal perikanan Indonesia yang jumlahnya sangat besar di sektor perikanan global.
“Ratifikasi ILO C188 adalah batu penjuru untuk menunjukkan komitmen nyata negara dalam memperbaiki tata kelola perlindungan awak kapal perikanan,” ujarnya.
Albert juga menyoroti masih kuatnya mitos bahwa ratifikasi konvensi tersebut akan menghambat operasional kapal Indonesia.
“Ketakutan bahwa ratifikasi akan melumpuhkan industri perikanan tidak berdasar dan perlu diluruskan,” tambahnya.
Sementara itu, jurnalis investigasi dan Founder Voice Indonesia, Anton Sahadi, mengkritik keras pola penanganan kasus AKP yang dinilai masih reaktif. Menurutnya, pemerintah kerap baru bergerak setelah kasus eksploitasi viral di media sosial.
“Pemerintah sering kali baru sibuk menangani setelah ada video yang menyebar luas. Padahal persoalan pekerja migran, khususnya awak kapal perikanan, sudah lama ada di balik tembok besar,” ujar Anton.
Dalam seminar tersebut, Anton menayangkan video hasil investigasinya di Taipei pada 2024. Video tersebut memperlihatkan AKP Indonesia yang kontraknya diputus sepihak dan terpaksa tinggal di masjid serta bangunan tidak layak huni.
“Salah satu ABK mengaku dijanjikan kontrak tiga tahun, tapi kenyataannya hanya bekerja musiman enam bulan. Setelah itu mereka terlantar tanpa kepastian kerja, sementara utang biaya perekrutan tetap harus dibayar,” ungkapnya.
Melalui berbagai temuan dan kesaksian ini, para pembicara menegaskan bahwa negara harus hadir lebih aktif dan sistematis dalam melindungi awak kapal perikanan, tidak hanya bertindak setelah kasus mencuat ke publik, tetapi mencegah eksploitasi sejak awal melalui regulasi yang kuat dan berpihak pada pekerja.
BERITA TERKAIT: