Dalam putusannya, MKD menjatuhkan hukuman nonaktif selama tiga bulan kepada Nafa Urbach, empat bulan kepada Eko Hendro Purnomo, dan enam bulan kepada Ahmad Sahroni.
Sanksi ini berlaku sejak tanggal putusan dibacakan dan dihitung sejak penonaktifan masing-masing oleh partai mereka. Nafa dan Sahroni berasal dari Partai NasDem, sementara Eko Patrio dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Menanggapi keputusan itu, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif FIXPOLL Indonesia, Mohammad Anas RA, menilai sanksi MKD tersebut menunjukkan komitmen lembaga terhadap penegakan etika politik di parlemen.
Namun, menurutnya, MKD juga memiliki ruang untuk melangkah lebih jauh dengan mengusulkan pemberhentian anggota DPR ke partai politik asalnya.
“MKD bisa mengusulkan pemberhentian anggota DPR kepada partai asalnya. Sebab mekanisme pemberhentian melalui dua jalur: partai politik memberhentikan keanggotaan dari partai, kemudian partai mengusulkan pemberhentian keanggotaannya ke lembaga DPR,” jelas Anas kepada RMOL, Jumat, 7 November 2025.
Ia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), memang tidak secara eksplisit diatur bahwa MKD berwenang memecat anggota DPR.
Namun secara prinsip, MKD dapat merekomendasikan pemberhentian kepada partai politik apabila pelanggaran dinilai berat dan mencoreng kehormatan lembaga.
Menurut Anas, anggota DPR sejatinya memikul dua tanggung jawab utama yakni mewakili masyarakat dan partai politik. Karena itu, setiap tindakan yang mencederai kepercayaan publik semestinya juga menjadi perhatian serius bagi partai asalnya.
“Kerusuhan yang terjadi adalah bentuk kemarahan masyarakat. Nah, apakah ada empati dari partai politiknya?” ujarnya.
Anas menekankan, partai politik idealnya mampu mengartikulasikan kepentingan rakyat menjadi kebijakan yang berpihak, serta menjadi penghubung komunikasi antara masyarakat dan pemerintah.
BERITA TERKAIT: