Menurut Gunhar, alokasi subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai angka yang sangat besar. Pada 2024, pemerintah menganggarkan sekitar Rp330 triliun untuk subsidi energi. Anggaran tahun 2025 pun tetap tinggi, yaitu sebesar Rp 203,4 triliun. Rinciannya, subsidi BBM dan LPG sebesar Rp113,6 triliun serta subsidi listrik Rp90,2 triliun.
“Ini angka yang luar biasa besar. Untuk BBM saja, subsidi mencapai Rp26,7 triliun untuk 19,41 juta kiloliter, terdiri dari minyak tanah dan solar. Sementara LPG mencapai 8,2 juta metrik ton, bahkan melebihi pagu anggaran tahun ini sebesar Rp85,6 triliun,” ujar Gunhar di Jakarta, Sabtu 24 Mei 2025.
Namun, lanjut Legislator Fraksi PDIP ini, besarnya alokasi anggaran tersebut tidak serta-merta menjamin ketepatan sasaran subsidi.
“Kita harus jujur bahwa masih banyak masalah dalam pelaksanaannya. Misalnya, sekitar 100 ribu orang kehilangan pekerjaan dalam lima bulan terakhir. Mereka ini mungkin awalnya tidak termasuk penerima subsidi, tapi kini bisa jadi layak menerima. Masalahnya, akurasi data kita masih lemah,” tegasnya.
Ia juga menyoroti bahwa penyaluran subsidi masih bergantung pada sistem pendaftaran berbasis KTP, bukan verifikasi yang menyeluruh dan
real time terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
“Ini menunjukkan masih ada yang keliru. Ketika orang yang seharusnya mampu justru menikmati subsidi, maka keadilan sosial sedang dilanggar,” ujarnya.
Dari sisi teknologi, Gunhar mencermati upaya digitalisasi subsidi lewat aplikasi MyPertamina. Dalam paparan Pertamina, LPG 3 kg kini sudah 100 persen menggunakan NIK, Biosolar 100 persen menggunakan QR, dan Pertalite 99,98 persen juga lewat QR.
“Digitalisasi ini tentu punya tujuan baik. Tapi pelaksanaannya harus kita evaluasi. Apakah aplikasi MyPertamina memberi dampak positif atau malah menambah beban operasional? Apakah ini memudahkan rakyat atau justru mempersulit akses terhadap subsidi? Yang jelas, masih banyak keluhan mengenai efektifitas mekanisme ini," katanya.
Baginya, isu subsidi bukan semata hubungan antara pangkalan dan agen distribusi, tapi menyangkut prinsip keadilan sosial yang diamanatkan konstitusi.
“Kita harus kembali pada prinsip itu. Subsidi harus menjadi alat pemerataan dan perlindungan sosial, bukan celah penyimpangan,” tutup Gunhar.
BERITA TERKAIT: