Sistem Campuran Jalan Tengah Keruwetan Pemilu Indonesia

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-alfian-1'>AHMAD ALFIAN</a>
LAPORAN: AHMAD ALFIAN
  • Senin, 19 Mei 2025, 18:20 WIB
Sistem Campuran Jalan Tengah Keruwetan Pemilu Indonesia
Ilustrasi/Ist
rmol news logo Pakar kepemiluan Titi Anggraini mendorong wacana pembaruan sistem pemilu di Indonesia melalui pendekatan yang lebih seimbang dan inklusif. 

Dalam forum Proklamasi Democracy Forum yang digelar Partai Demokrat, Titi memaparkan gagasan sistem campuran (mixed system) sebagai solusi jalan tengah.

“Tujuan utama sistem campuran untuk mendapatkan keunggulan dari kedua sistem pemilu baik pluralitas atau dapil berwakil tunggal maupun perwakilan proporsional atau dapil berwakil lebih dari satu/jamak. Sekaligus untuk mengurangi kelemahannya," kata Titi di markas Partai Demokrat, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Senin 19 Mei 2025.

Dalam sistem ini, pemilih akan diberi dua suara. Satu untuk memilih calon legislatif secara langsung melalui sistem mayoritas sederhana (first past the post/FPTP) dalam daerah pemilihan berwakil tunggal, dan satu lagi untuk memilih partai melalui sistem proporsional tertutup (closed list) di dapil berwakil jamak.

Model ini, menurut Titi, memungkinkan keterlibatan langsung pemilih terhadap calon yang mereka kehendaki sekaligus tetap memberikan ruang bagi partai politik untuk menjamin keterwakilan kader-kader terbaiknya lewat mekanisme daftar calon. 

"Sistem ini hadir dalam dua bentuk utama, Mixed Member Majoritarian (MMM) dan Mixed Member Proportional (MMP)," jelasnya.

Tak hanya soal sistem, Titi juga menekankan pentingnya penataan sistem pemilu secara menyeluruh dan holistik, mulai dari penjadwalan, ambang batas, hingga syarat pencalonan. 

Ia mengusulkan skema Pemilu Serentak Nasional (memilih DPR, DPD, Presiden) dan Pemilu Serentak Lokal (memilih DPRD dan kepala daerah) dengan jeda dua tahun antar keduanya.

“Tujuan utama penjadwalan ini adalah mendorong partai untuk membina kadernya secara serius di tingkat daerah, mengurangi beban penyelenggaraan, mencegah kelelahan politik, serta menciptakan pemilih yang lebih kritis,” jelas Titi.

Ia juga mengusulkan penghapusan ambang batas pencalonan kepala daerah, sebagai bentuk konsistensi terhadap Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden. 

Sebagai gantinya, Titi menawarkan adanya ambang batas maksimal koalisi pencalonan presiden sebesar 35 persen dari total suara gabungan partai politik peserta pemilu.

Langkah ini, menurut Titi, akan mencegah dominasi kelompok tertentu dan memperkuat fungsi partai sebagai institusi kaderisasi dan perekrutan politik yang demokratis.

Gagasan lainnya yang disampaikan antara lain Jeda waktu pemilu dan pelantikan presiden sebaiknya tidak terlalu panjang untuk menghindari fenomena lame duck period yang rawan disalahgunakan.

"Jadi bisa merujuk skema seperti Pilpres 2004, pemilu pada Juni, pelantikan pada Oktober," jelasnya.

Ambang batas fraksional (fractional threshold) lebih relevan diterapkan ketimbang parliamentary threshold, yakni misalnya partai harus memiliki kursi setidaknya sebanyak jumlah komisi di DPR untuk membentuk fraksi.

"Selain itu, syarat calon legislatif DPR harus sudah menjadi kader partai minimal tiga tahun sebelum mendaftar. Untuk DPRD, masa kaderisasi minimal dua tahun," tuturnya.

Dengan semua gagasan ini, Titi berharap revisi UU Pemilu tidak lagi hanya berkutat pada kepentingan pragmatis jangka pendek, tetapi menjadi langkah strategis untuk memperkuat demokrasi elektoral secara jangka panjang dan berkelanjutan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA