"Pendekatan ini tidak hanya keliru secara fundamental, tetapi juga berbahaya dan berpotensi merusak sistem pendidikan secara struktural," kata Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Andar Nubowo, Jumat, 9 Mei 2025.
Selain itu, Andar memandang mengirim siswa nakal ke barak juga menggambarkan buruknya kualitas kinerja Pemprov Jabar.
"Kebijakan semacam ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan ruang pendidikan yang aman, adil, dan inklusif bagi seluruh anak bangsa," ujar dia.
Menurut MAARIF Institute, ada 3 aspek penting yang seharusnya diperhatikan Dedi Mulyadi. Pertama, soal perlindungan siswa agar belajar dengan merdeka.
Pendekatan militeristik terhadap siswa justru mencerminkan dominasi, mengganti proses pendidikan reflektif dan dialogis dengan pemaksaan disiplin yang menekankan kepatuhan tanpa nalar.
"Militerisasi pendidikan adalah kekerasan dan pelanggaran perlindungan anak. Mengirim siswa ke barak militer bentuk kekerasan simbolik dan struktural dalam dunia pendidikan," kritinya.
Aspek kedua, pendekatan represif sangat berisiko dalam konteks krisis kesehatan mental remaja Indonesia saat ini. Ia lantas mengutip data WHO tahun 2024 yang menyebut 14 persen anak dan remaja dunia menghadapi krisis kesehatan mental.
Lingkungan pendidikan berbasis hukuman dan stigma dinilai hanya menambah tekanan dan memperbesar risiko depresi, kecemasan serta isolasi sosial.
"Alih-alih menyelesaikan masalah perilaku, kebijakan semacam ini justru menciptakan luka baru yang mengancam masa depan anak-anak sebagai individu dan warga negara," sambungnya.
Kemudian aspek ketiga, kebijakan pengiriman siswa ke barak militer bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan konstitusi.
"UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyatakan setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi, serta tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: