Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan strategi Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan keunggulan tarif lebih rendah dibanding Vietnam dan Kamboja, tetapi harus fokus pada daya saing fundamental.
"Solusinya, Indonesia harus bersiap mengejar peluang relokasi pabrik. Tidak cukup hanya bersaing dari selisih tarif resiprokal yang lebih rendah dibanding Vietnam dan Kamboja," kata Bhima kepada
RMOL pada Kamis 3 April 2025.
Menurutnya, ada beberapa faktor utama yang harus diperbaiki agar Indonesia bisa menjadi tujuan investasi yang menarik, di antaranya menghentikan regulasi yang memicu ketidakstabilan dalam negeri.
"Kuncinya di regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, tidak ada RUU yang buat gaduh (RUU Polri dan RUU KUHAP ditunda dulu), kesiapan infrastruktur pendukung kawasan industri, sumber energi terbarukan yang memadai untuk pasok listrik ke industri, dan kesiapan sumber daya manusia," jelasnya.
Bhima menekankan bahwa Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan insentif fiskal berlebihan karena adanya kebijakan Global Minimum Tax yang membatasi keringanan pajak bagi investor asing.
"Kalau sebelumnya, kita menarik investor dengan tax holiday dan tax allowance, tetapi sekarang saatnya memperbaiki daya saing yang lebih fundamental," tambahnya.
Bhima juga menambahkan bahwa Bank Indonesia (BI) masih memiliki ruang untuk mendukung stabilitas ekonomi melalui kebijakan moneter. Menurutnya, BI dapat menurunkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin (bps).
"Saat cadangan devisa gemuk BI bahkan bisa turunkan suku bunga acuan 50 bps, untuk stimulus sektor riil yang terdampak perang dagang," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: