Pengamat hukum dan politik, Pieter C Zulkifli, menekankan bahwa Presiden Prabowo memulai masa pemerintahannya dengan visi besar. Di antaranya menghapus kemiskinan, meningkatkan taraf hidup rakyat, menyediakan makan bergizi gratis, membangun 3 juta rumah, hingga menciptakan jutaan lapangan kerja.
"Prabowo Subianto memulai pemerintahannya dengan visi yang ambisius. Namun, janji besar seperti menghapus kemiskinan memerlukan keberanian, inovasi, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Kenaikan PPN menjadi ujian pertama, apakah ini langkah awal menuju transformasi ekonomi atau sekadar langkah pragmatis yang mengorbankan rakyat demi angka-angka di laporan keuangan negara?" kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Senin, 18 November 2024.
Di satu sisi, kebijakan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung target besar Prabowo. Termasuk, pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun.
"Di sisi lain, langkah ini dinilai bertentangan dengan janji peningkatan taraf hidup masyarakat. Kenaikan PPN berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa di pasar, yang otomatis melemahkan daya beli rakyat, terutama kelompok berpenghasilan rendah," paparnya.
Pieter menambahkan, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, pemerintah diperkirakan memerlukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar Rp8.000 triliun per tahun, atau 2 kali lipat dari anggaran saat ini.
Namun, proyeksi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk APBN 2025 hanya mencapai Rp3.600 triliun. Bahkan, jumlah ini pun belum sepenuhnya tersedia dalam bentuk uang nyata. Artinya, rencana ini lebih bersifat prediktif.
Tak hanya itu, dia mengungkapkan bahwa laporan dari IMF menunjukkan skeptisisme terhadap target ini, mengingat Indonesia masih menghadapi masalah struktural di sektor keuangan. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan uang kartal yang dimiliki negara.
"Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa uang kartal yang beredar hanya sekitar Rp954,5 triliun. Angka ini jauh dari cukup untuk menggerakkan ekonomi sebesar Indonesia, alih-alih mendukung target pertumbuhan 8 persen," jelasnya.
Belajar dari Amerika, Pieter menyebut bahwa negara adidaya itu pernah menghadapi krisis keuangan besar pada 2008-2009. Untuk mengatasi masalah tersebut, mereka mencetak uang dalam jumlah besar, mencapai 2.000 miliar dolar AS atau sekitar 30 ribu triliun rupiah. Namun, langkah ini didukung oleh faktor produktif dan proyek-proyek besar di bawah pengaruh kekuatan ekonominya.
"Sayangnya, Indonesia tidak memiliki posisi serupa. Ketergantungan pada mata uang asing seperti dolar AS dan euro membuat rupiah terjepit. Sebagian besar transaksi ekspor-impor menggunakan mata uang asing, yang secara langsung mengurangi sirkulasi rupiah di pasar domestik. Hal ini juga berdampak pada kemampuan pemerintah membayar utang luar negeri," bebernya.
Atas dasar itu, mantan Ketua Komisi III DPR itu menyatakan, PPN 12 persen akan menambah beban bagi rakyat. Bahkan, kenaikan PPN akan menjadikan Indonesia salah satu negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN, sejajar dengan Filipina.
Dia mengamini bahwa kebijakan ini memang bertujuan meningkatkan pendapatan negara, akan tetapi efek sampingnya langsung dirasakan rakyat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Harga barang dan jasa diperkirakan melonjak, sementara daya beli masyarakat semakin menurun.
"Saat daya beli melemah, sulit membayangkan target penghapusan kemiskinan dapat tercapai. Dalam situasi seperti ini, kebijakan fiskal yang tidak pro rakyat justru memperburuk ketimpangan ekonomi. Dengan konsumsi domestik sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi, peningkatan beban pajak berisiko meruntuhkan pondasi tersebut," demikian Pieter Zulkifli.
BERITA TERKAIT: