Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

KIPP Soroti Lemahnya Aturan Hukum Eksploitasi Anak di Pilkada

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Selasa, 15 Oktober 2024, 14:23 WIB
KIPP Soroti Lemahnya Aturan Hukum Eksploitasi Anak di Pilkada
Ilustrasi/Net
rmol news logo Hukuman bagi pihak-pihak yang mengeksploitasi anak dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), tidak ditemukan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) di UU 10/2016 tentang Pilkada maupun peraturan lembaga penyelenggara pemilu terkait.

Divisi Monitoring KIPP, Brahma Aryana menjelaskan, perlidungan bagi anak-anak merupakan amanat Konstitusi Republik Indonesia, yakni dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Disebutkan dalam pasal konstitusi itu bahwa, "setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi".

"Sehingga dengan demikian, apapun bentuknya, kejadian, peristiwa, perbuatan yang cenderung mengarah pada eksploitasi anak, menjadikan anak-anak sebagai komoditas politik, dan hal-hal destruktif lainnya pada masa depan dan perlindungan hak-hak anak harus segera ditanggapi dan ditangani dengan segera dan serius," ujar Brahma kepada Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL pada Selasa, 15 Oktober 2024.

Di samping dijamin secara konstitusional, sosok yang kerap disapa Bram itu juga menyatakan aturan yang sama juga diatur dalam Pasal 15 Huruf a UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.

Berdasarkan hasil temuan lapangan KIPP, Bram mendapati keterlibatan anak pada masa kampanye Pilkada 2024 terjadi di beberapa daerah.

"Ada video, yang memperlihatkan tim sukses paslon pemilihan gubernur dan wakil gubernur melakukan aksi tebar uang ke warga dan anak-anak di daerah Pandeglang, Banten. Yang teranyar, dalam debat publik beberapa waktu lalu di DKI Jakarta juga dihadiri oleh anak-anak," urainya.

Sarjana hukum lulusan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) itu mencatat, selama pelaksanaan pemilu 5 tahun terakhir jumlah pelanggaran eksploitasi anak di pemilu tidak menurun signifikan berdasarkan sumber Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

"KPAI mencatat pada Pemilu 2019 lalu setidaknya terdapat 55 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak dalam politik. Di Pemilu 2024, ada 6 kasus, dan 47 kasus temuan KPAI di media sosial. Pelanggaran tersebut adalah melibatkan anak-anak dalam kampanye," paparnya.

Dari jenis kasus yang ditemukan pada Pemilu 2024 lalu, KIPP mendapati beberapa di antaranya dalam bentuk pelibatan pembuatan video black campaign di media sosial.

"Lebih mengerikan lagi, di hari pemungutan suara kita menyaksikan video anak-anak yang ikut dalam aksi kecurangan pemilu yakni melakukan perbuatan coblos massal surat suara, seperti yang terjadi di Sampang Madura, Nias Selatan, dan di tempat lainnya," ungkap Bram.

Yang disayangkan menurut Bram, dalam UU 7/2017 tentang Pemilu termuat aturan larangan pelibatan anak-anak dalam kegiatan kampanye pemilu, yang diamanatkan MK juga seharusnya dijalani pada saat kampanye pilkada berlangsung.

"Sebagaimana diamanahkan Pasal 280 Ayat (2) Huruf k UU 7/2017 tentang Pemilu menyatakan, pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan WNI yang tidak memiliki hak memilih," kata Bram.

"Dan di Pasal 1 angka 34 UU Pemilu menegaskan, pemilih adalah WNI yang genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Dengan demikian, anak-anak masuk dalam klasifikasi WNI yang tidak memiliki hak memilih. Pelanggaran pada Pasal 280 ayat (2) UU Pemilu adalah sanksi pidana," sambungnya.

Instrumen lain untuk mencegah eksploitasi anak pada kegiatan kampanye poitik, disebutkan Bram juga sudah disepakati Kementerian PPPA, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan KPAI dengan menerbitkan Surat Edaran Bersama (SEB) tentang Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024 yang Ramah Anak.

Akan tetapi, temuan kejadian eksploitasi anak-anak dalam kegiatan kampanye Pilkada Serentak 2024 mengindikasikan adanya pembiaran dilakukan oleh penyelenggara pemilu, dalam hal ini khususnya KPU.

"Karena memang dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Peraturan KPU yang mengatur tentang Kampanye Pilkada tidak mengatur keterlibatan anak-anak dalam kegiatan politik pemilihan, termasuk dalam kampanye. Yang mengatur pelarangan keterlibatan anak-anak dalam kegiatan pemilu hanya dalam UU Pemilu," ucapnya.

Oleh karena itu, KIPP mendorong agar dicarikan solusi oleh stakeholder terkait untuk mencegah terjadinya eksploitasi anak yang berlanjut dan berulang, baik pada setiap pelaksanaan pemilu maupun pilkada.

"Menjadi penting untuk memperhatikan kekosongan hukum terkait perlindungan hak anak-anak yang tidak diatur dalam UU Pilkada sebagai landasan hukum utama dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2024," tutur Bram.

"Perlindungan anak-anak dalam kegiatan pemilihan harus dijadikan isu utama, oleh karena perihal hak anak dalam politik pemilu merupakan elemen dasar demokratis yang sama penting dalam menentukan kualitas pemilu dan demokrasi di suatu negara modern," tambahnya menutup. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA