Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Masa Depan Sawit Berkelanjutan, Apa Dampak Besarnya bagi Pasar?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/alifia-dwi-ramandhita-1'>ALIFIA DWI RAMANDHITA</a>
LAPORAN: ALIFIA DWI RAMANDHITA
  • Sabtu, 05 Oktober 2024, 22:18 WIB
Masa Depan Sawit Berkelanjutan, Apa Dampak Besarnya bagi Pasar?
Ilustrasi/Net
rmol news logo Industri kelapa sawit merupakan salah satu pilar penting perekonomian Indonesia yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara hingga penyediaan lapangan kerja.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sektor ini mendapat kritik tajam terkait dampak lingkungan dan sosial, termasuk deforestasi serta pelanggaran hak-hak pekerja.

Oleh karena itu, upaya untuk mencapai keberlanjutan menjadi sangat krusial dalam menyelaraskan industri kelapa sawit dengan perlindungan lingkungan.

Hadirnya sertifikasi berkelanjutan, seperti ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil)  yang diatur pemerintah Indonesia, dan sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) global yang dilakukan secara sukarela ini memainkan peran kunci dalam mengarahkan industri ini ke arah yang lebih ramah lingkungan dan sosial.

Saat ini, sertifikasi ISPO sendiri sedang mengalami revisi, dengan perubahan landasan hukum dari Peraturan Menteri menjadi Peraturan Presiden, sebagaimana tercantum dalam rancangan perubahan Peraturan Presiden 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi. Namun, revisi ini masih dalam proses finalisasi.

Plt Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto, menjelaskan bahwa perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan integritas sertifikasi ISPO.

Rancangan tersebut akan memperluas cakupan ISPO dari sektor hulu ke sektor hilir, dengan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM. Industri hilir kelapa sawit akan diampu oleh Kementerian Perindustrian, sedangkan usaha bioenergi kelapa sawit akan menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM.

“Sertifikasi ISPO hilir ini diharapkan dapat memberikan pengaruh yang berdampak peningkatan harga atas produk kelapa sawit yang diproduksi secara berkelanjutan yang pada akhirnya dapat memberikan pengaruh positif terhadap perbaikan tata kelola di sepanjang rantai pasok termasuk pekebun selaku produsen  Tandan Buah Segar (TBS),” kata Heru kepada RMOL, pada Rabu (2/10).

Revisi kebijakan ini juga mencakup reformulasi pendanaan sertifikasi ISPO, khususnya untuk pekebun. Pembiayaan akan difasilitasi oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), APBN, APBD, serta sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan. Sebelumnya, sumber pembiayaan dari BPDPKS tidak disebutkan dalam Perpres.

Selain itu, biaya proses Sertifikasi ISPO untuk pekebun mencakup Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL), pelatihan Sistem Pengendalian Internal (ICS), pendampingan, sertifikasi, dan penilikan akan ditanggung pemerintah—yang sebelumnya tidak difasilitasi pemerintah.

Revisi ini diharapkan dapat meningkatkan harga produk kelapa sawit berkelanjutan, memperbaiki tata kelola rantai pasok, dan memberikan manfaat nyata bagi para pekebun. Hingga Agustus 2024, Heru menyebutkan bahwa lebih dari 1.000 pelaku usaha telah bersertifikasi ISPO, atau sekitar 35 persen dari total industri.

"Data hingga Agustus 2024 menunjukkan ada 1.104 pelaku usaha yang sudah bersertifikasi ISPO, terdiri dari 79 Perkebunan Besar Negara (seluas 373.403,18 ha), 931 Perkebunan Besar Swasta (seluas 5.434.030,12 ha), dan 94 pekebun (seluas 60.789,68 ha)," ungkap Heru.

Keuntungan Sertifikasi

Dari segi ekonomi, meski tidak ada regulasi resmi yang membedakan harga antara produk bersertifikat dan yang tidak, Heru mengungkapkan bahwa praktik di lapangan menunjukkan pelaku usaha dengan sertifikasi ISPO mengalami peningkatan efisiensi produksi dan pengurangan risiko finansial.

"Pelaku usaha yang bersertifikat ISPO terbukti meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi risiko finansial, seperti denda atau kompensasi akibat pelanggaran hukum," jelasnya.

ISPO juga memberi peluang bagi pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing, sehingga bisa bersaing dengan pelaku usaha yang sudah memiliki sertifikasi keberlanjutan lainnya seperti RSPO.

“Ada perbedaan perlakuan dari perusahaan terhadap kelompok pekebun yang sudah bersertifikat ISPO, antara lain dalam penentuan rendemen TBS yang dihargai lebih tinggi sekitar 3 persen,” tambah Heru.

Sementara itu, untuk sertifikasi RSPO, kata Heru juga memberikan keuntungan berupa penerapan premium price, di mana pelaku usaha dapat menjual CPO dengan harga premium karena telah memenuhi standar keberlanjutan, terutama dari sisi lingkungan dan sosial.

"Premium price ini memberikan motivasi bagi perusahaan maupun pekebun untuk bergabung dengan RSPO," ungkap Heru.

Di sisi lain, keuntungan tidak langsung lainnya dari sertifikasi keberlanjutan mencakup kepatuhan terhadap regulasi, penerapan prinsip perkebunan yang baik, pengelolaan lingkungan hidup, dan tanggung jawab ketenagakerjaan.

Selain itu, ISPO mewajibkan perusahaan untuk memfasilitasi kebun masyarakat, yang dapat memperkuat hubungan antara perusahaan dan komunitas setempat.

Tantangan Sertifikasi ISPO dan RSPO

Meskipun memiliki berbagai manfaat, ISPO juga menghadapi tantangan, terutama terkait persepsi publik dan pengakuan internasional. Heru menekankan pentingnya kerja sama internasional untuk melawan kampanye negatif dan memastikan kelapa sawit Indonesia dapat diterima di pasar global.
 
"ISPO harus diakui secara internasional, terutama di Eropa, yang memiliki regulasi ketat terkait produk impor," jelasnya.

Selain itu, Heru mengakui bahwa proses sertifikasi ISPO dinilai kurang transparan dibandingkan RSPO. Oleh karena itu, transparansi serta pengawasan dan penegakan hukum perlu ditingkatkan.

“Salah satu perbaikan yang akan dilakukan adalah meningkatkan akses publik terhadap informasi ISPO dan mempublikasikan hasil audit,” katanya.

Sementara itu, Khudori, pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), menilai salah satu syarat sertifikasi ISPO, yaitu penggunaan lahan yang bukan kawasan hutan, masih sulit dipenuhi, terutama oleh pekebun rakyat.

“Salah satu syarat agar dapat sertifikasi ISPO adalah lahan bukan dari hutan. Sementara lahan sawit rakyat sekitar 3,1 juta ha oleh KLHK diklaim masuk kawasan hutan. Berbagai upaya sudah dilakukan, berbagai regulasi sudah dibuat, tapi bertahun-tahun tidak juga selesai,” katanya.

Senada dengan Heru dan Khudori, Peneliti Senior Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Adzkar Ahsinin, menilai pengawasan terhadap standar ISPO masih lemah karena penegakan hukum belum optimal.

“Berbagai kebijakan untuk memperkuat sawit berkelanjutan sudah ada, tetapi implementasinya masih lemah dan tidak memenuhi standar HAM serta hak atas lingkungan yang sehat,” ungkap Adzkar.

Menurut Adzkar, pendekatan HAM dalam tata kelola sawit perlu diperkuat, termasuk mempertimbangkan hak-hak non-manusia seperti alam dan hewan melalui pendekatan antroposentris.

“Pendekatan ini mempertimbangkan yang melampaui kepentingan manusia semata, hak- hak selain manusia seperti hak-hak alam, hak-hak binatang juga perlu dipertimbangkan. Perpaduan pendekatan HAM dan hak-hak non-manusia menjadi prasyarat dalam perbaikan kebijakan untuk memperkuat penerapan prinsip Berkelanjutan,” katanya.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA