Analis sosial politik UNJ, Ubedilah Badrun mencermati, setidaknya ada dua pola manuver yang dilakukan Jokowi yakni
autocratic legalism dan
new despotism.
"Kedua pola itu akan menumbuh suburkan korupsi atau semakin merajalela
kleptocracy," kata Ubedilah dalam keterangannya, Sabtu (7/9).
Gambaran
autocratic legalism Presiden Jokowi adalah merevisi UU KPK tahun 2019 sehingga KPK berada di bawah rumpun eksekutif. Kemudian membuat UU Omnibus Law yang banyak merugikan pekerja dan buruh namun menguntungkan pengusaha.
"Kemudian gambaran lain, adalah upaya kekuasaan presiden menjadi tiga periode, dan putusan MK No 90 tahun 2023 (terkait batas usia capres-cawapres)," sambung Ubedilah.
Sementara pola
new despotism sudah bisa dilihat selama lima tahun terakhir sejak Pemilu 2019. Misalnya popularitas, elektabilitas, dan kepuasan yang tinggi dari masyarakat dilakukan secara manipulatif dan dibarengi represi.
Ubedilah mengungkap data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahwa ada represi terhadap demonstrasi sebanyak 68 kasus. Penangkapan sewenang-wenang 3.539 korban dan penahanan sewenang-wenang 326 korban dan penyiksaan sebanyak 474 korban.
Lalu data Amnesty International Indonesia tahun 2024 mencatat aparat Polri terlibat atas dugaan 100 kasus penyiksaan dengan 151 korban dari total 142 kasus dengan 227 korban.
Mengutip buku John Keane berjudul
The New Despotism (2020), ciri
despotism yakni para penguasa ahli dalam seni memanipulasi dan melakukan intervensi kepada warga negara.
"Parahnya, meski demokrasi manipulatif terjadi, tidak sedikit rakyat yang mendukung karena kebodohannya atau dalam bayang-bayang represi," tandas Ubedilah.
BERITA TERKAIT: