Kondisi ini terjadi karena partai politik lebih memilih untuk bergabung dalam koalisi besar guna mengamankan kemenangan bagi calon tertentu.
Hal ini menyebabkan calon tunggal menjadi lebih sering muncul, dan lawan mereka hanyalah kotak kosong.
Hal ini pun mendapat sorotan tajam dari Founder Lembaga Survei Kedai KOPI, Hendri Satrio. Menurutnya, penting ada regulasi yang membatasi ambang batas koalisi partai politik dalam pemilihan.
"Harus ada aturan batasan atas ambang batas koalisi parpol dalam Pilpres/Pilkada, sehingga borong kursi parpol buat munculkan calon tunggal vs kotak kosong bisa disetop," katanya dikonfirmasi
Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Jumat (9/8).
Menurut Hendri, pembatasan ini akan memberikan ruang bagi calon lain untuk ikut serta dalam kontestasi, sehingga pemilih memiliki lebih banyak pilihan.
"Kan ada jalur independen? Lah iya, tapi bila ada aturan batasan ambang atas, demokrasi makin terjaga, Misalnya koalisi parpol bila sudah 40 persen sudah nggak bisa nambah parpol lagi," jelasnya.
"Aneh banget bila pilkada, kotak kosong vs calon yang elektabilitasnya cuma di bawah 25 persen? Akal-akalan aja," sambung sosok yang akrab disapa Hensat itu.
Ketika masyarakat dihadapkan pada pilihan antara satu calon dan kotak kosong, partisipasi pemilih cenderung menurun, dan legitimasi pemimpin yang terpilih bisa dipertanyakan.
"Elektabilitas si tokoh kecil, misal 10 persen, tapi karena borong kursi parpol, dia bisa maju tanpa lawan (alias lawan kotak kosong)? Lah suara yang 90 persen dianggap nggak ada?" tandasnya.
BERITA TERKAIT: