Beberapa kejanggalan tersebut, dituturkan anggota Komisi VII DPR, Yulian Gunhar, antara lain kekosongan posisi direktur utama dari perusahaan pengelola smelter nikel di Kalimantan Timur itu.
"PT KFI sebagai perseroan terbatas (PT) seharusnya memiliki direktur utama. Apalagi dalam UU PT sendiri disebutkan, jika ada dua direksi dalam satu perusahaan, satu orang menjabat sebagai dirut," jelasnya, kepada awak media, Selasa (9/7).
PT KFI yang berdasarkan dokumen AHU sahamnya dimiliki perusahaan asal China Santa Taihuitong New Material Co Ltd senilai Rp1,12 triliun dan PT PT Nityasa Prima senilai Rp125 miliar, lanjut Gunhar, bisa menunjuk satu orang sebagai direktur utama. Sosok dirut ini yang nanti bertanggung jawab atas berbagai permasalahan serius, seperti insiden kebakaran smelter.
"Bagaimana mekanisme tanggung jawab jika terjadi kejadian serius seperti insiden kebakaran smelter, yang kerap terjadi, jika PT KFI tak punya dirut?" tanyanya.
Hal lain yang dipertanyakan oleh politikus PDIP ini adalah terkait pengakuan PT KFI yang selama ini mengimpor nikel dari Filipina sebanyak 51 ribu ton. Padahal Indonesia merupakan termasuk pemasok nikel terbesar di dunia.
"Impor bahan baku nikel dari Filipina itu harus dipaparkan secara detail datanya, baik jumlah, kualitas, maupun peruntukannya. Apakah benar pasokan nikel asal Filipina ini hanya untuk memenuhi kekurangan pasokan nikel dari trader nikel dalam negeri?" tutur Gunhar.
Sebelumnya, Komisi VII DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan PT Kalimantan Ferro Industry (KFI), pada Senin (8/7). RDPU ini dilakukan sebagai respons atas insiden kebakaran di smelter nikel pada Oktober 2023 dan 16 Mei 2024 lalu.
BERITA TERKAIT: