Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti menjelaskan, terdapat perubahan aturan yang dibuat KPU mengenai kode etik penyelenggara pemilu.
Dewi menyebutkan, awalnya PKPU 21/2020 mengatur secara eksplisit kewajiban bagi semua penyelenggara pemilu termasuk anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota untuk menjaga sikap dan tindakan agar tidak merendahkan integritas pribadi, dengan menjauhkan diri dari di antaranya perselingkuhan, tindak kekerasan, dan tindakan kekerasan seksual, serta dari kawin siri.
"Namun, PKPU No. 4 Tahun 2021 menghapus aturan eksplisit tersebut dengan menyebutkannya hanya sebagai 'perbuatan tercela, dilarang, atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku di masyarakat'," kata Dewi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/6).
Menurutnya, meskipun perubahan aturan etik penyelenggara pemilu tersebut terkesan diperluas terkait larangan kawin siri dan tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan, tetapi Ketua KPU Hasyim Asy'ari justru menghilangkan bunyi frasa tersebut di aturan revisi selanjutnya.
"Pengaturan tersebut kemudian dihapus melalui PKPU No. 5 Tahun 2022 dan No. 12 Tahun 2023, yang ditandatangani oleh Hasyim Asyari, Ketua KPU saat ini," sambungnya.
Dampak dari perubahan aturan oleh KPU RI tersebut, Komnas Perempuan menemukan jumlah kasus yang ditangani Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada periode 2017-2022 sebanyak 25 kasus kekerasan seksual, dan telah disidangkan.
"Tercatat 23 di antaranya diputuskan dengan penghentian tetap. Kekerasan seksual pada situasi ini dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam pemilihan umum (violence against women in election)," kata Dewi.
"Ini hadir dalam banyak bentuk, mulai dari kekerasan fisik, seksual, pembatasan hak dan gerak perempuan dalam politik, hingga pemecatan kandidat perempuan," tambahnya.
BERITA TERKAIT: