Hal tersebut disampaikan Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah saat memberikan catatan pada kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.
Said Abdullah yang merupakan politisi PDI Perjuangan mengatakan, catatan yang dia berikan dipandang perlu karena Prabowo Subianto akan menjalankan APBN 2025 yang akan disahkan tahun ini.
Berikut poin lengkap catatan Said Abdullah terkait kerangka ekonomi RAPBN 2025.
1. APBN 2025 akan dilaksanakan oleh Presiden Prabowo Subianto, namun kita bahas dan kita sahkan sebelum beliau memimpin pemerintahan. Oleh karena itu, kami ingin meng-address beberapa agenda strategis yang kiranya perlu dilanjutkan di era beliau, sehingga mempermudah pemerintahan beliau melakukan penyesuaian untuk pelaksanaan program-program strategis tersebut.
2. Gejolak eksternal makin sulit kita prediksikan. Ketegangan geopolitik telah menjelma menjadi ancaman laten aktivitas ekonomi. Karena hal itu, dalam sekejap harga komoditas global bisa melonjak, kurs rupiah terhempas dalam hitungan jam dan hari. Dalam sekejap pula, merambat, menekan ketahanan ekonomi nasional. Tekanan eksternal ini mengancam karena belum kuatnya sektor pangan, energi, dan tata kelola devisa.
3. Di dalam negeri, kita menghadapi hempasan angin buritan. Hempasannya tidak mendorong ekonomi nasional, malah menjebak perekonomian nasional dalam pusaran yang nyaris tak berujung. Booming harga komoditas di tahun 2022 kian memperkaya lapisan ekonomi atas, kesenjangan sosial kian menganga.
4. Angka kesenjangan sosial kian melebar. Semester 1 2024, gini rasio telah menyentuh 0,388 lebih tinggi dibandingkan semester 1 2023 yang berada di level 0,384. Kita bandingkan dengan tahun 2019, sebelum pandemi Covid, angka gini rasio saat itu di level 0,380. Kue kemakmuran harus dinikmati bersama, kecenderungan naiknya kesenjangan sosial ini harus dikendalikan oleh pemerintah.
5. Seluruh agenda pembangunan yang kita jalankan selama ini belum mampu mengangkut seluruh rakyat keluar dari lembah kemiskinan ekstrem. Padahal pemerintah punya target penghapusan kemiskinan ekstrem di tahun 2024. Konvergensi program atas penghapusan kemiskinan ekstrem telah dijalankan. Jika realisasinya hingga 2024 penghapusan kemiskinan ekstrem belum tuntas, kita fasilitasi melalui RAPBN 2025 agar pemerintah tetap bisa menuntaskannya.
6. Tidak kalah pentingnya dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia ke depan adalah persoalan stunting. Hal ini terkait dengan masa depan generasi bangsa. Target angka prevalensi stunting ke depan masih cukup menantang, yakni 14,0 persen pada tahun 2024. Pada tahun 2023 masih berada pada angka 21,5 persen. Jika target prevalensi sebesar 14,0 persen belum juga tercapai, maka diperlukan upaya extraordinary, yang meliputi pendekatan spasial untuk daerah fokus intervensinya.
7. Hempasan angin buritan membuat perekonomian nasional "terjebak" dalam pusaran pertumbuhan lima persenan. Padahal kita dikejar waktu untuk bisa naik kasta menjadi negara maju di 2045. Momentumnya dengan memanfaatkan secara optimal bonus demografi yang akan berakhir di tahun 2036.
8. Alih-alih memanfaatkan bonus demografi secara optimal, dukungan anggaran pendidikan 20 persen dari belanja negara belum mampu mengubah rakyat menjadi tenaga kerja terampil, penuh inovasi, dan punya etos kerja tinggi. Lebih dari separuh angkatan kerja masih lulusan SMP. Tentu saja keadaan ini tidak bisa kita andalkan untuk bersaing dalam pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif.
9. Terlihat dalam struktur serapan tenaga kerja, porsi pengangguran tahun 2022 didominasi oleh lulusan SMA sebesar 8,5 persen dan SMK 9,4 persen. Mereka yang lulusan SMP ke bawah terserap sebagai tenaga kerja kasar, masuk sektor informal, dan upah murah. Mereka yang lulusan perguruan tinggi masuk ke sektor formal. Data ini memberi arti, mereka yang lulus SMA dan SMK dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, kemungkinan besar dari rumah tangga kurang mampu. Oleh sebab itu, perguruan tinggi harus lebih inklusif terhadap keluarga tidak mampu.
10. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat hampir 10 juta penduduk berusia 15-24 tahun atau biasa disebut generasi Z (Gen Z) menganggur, tidak sekolah, tidak bekerja atau tidak mengikuti pelatihan atau Not Employment, Education, or Training (NEET). Lebih rinci, dari 44,47 juta penduduk berusia 15-24 tahun pada Agustus 2023, sekitar 22,5 persen atau 9,89 juta masuk dalam kategori NEET. Anggaran pendidikan 20 persen dari belanja negara harus mampu memberikan keterampilan anak-anak muda kita ini menyongsong masa depan mereka.
11. Pembangunan infrastruktur dan hilirisasi belum mampu mengubah haluan ekonomi, untuk menavigasikan ekspor kita lebih bernilai tinggi. Tingkat investasi untuk menghasilkan barang/jasa belum efisien. ICOR kita tahun 2014 tercatat 5,5. Setelah hampir sepuluh tahun kita menggelorakan pembangunan infrastruktur, skor ICOR kita malah naik di kisaran 6,5 tahun 2023. Padahal negara-negara peers, seperti Malaysia di angka 4,5; Thailand 4,4; Vietnam 4,6; dan Filipina bahkan jauh lebih rendah 3,7.
12. Data di atas menjelaskan, semisal setiap penambahan Rp1 miliar output dibutuhkan tambahan investasi sekitar Rp6,5 miliar, sementara negara-negara peers hanya di kisaran Rp3-4 miliar. Seharusnya pembangunan infrastruktur dan investasi sumber daya manusia dan teknologi memberi kontribusi besar bagi turunnya koefisien ICOR nasional.
13. Hilirisasi kita harapkan menjadi titian tangga menjadi negara industri. Catatan dari LPEM UI, hampir sepuluh tahun terakhir rata-rata nilai tambah manufaktur sekitar 39,12 persen hingga tahun 2020, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada masa Presiden Megawati 43,94 persen, dan Presiden SBY 41,64 persen. Situasi ini menjadi tanda deindustrialisasi dini, oleh sebab itu pemerintah harus mewaspadai hal ini.
14. Insentif pajak atas kebijakan hilirisasi harus diimbangi dengan kewajiban untuk serapan tenaga kerja Indonesia, alih teknologi, dan memperluas cakupan industri manufaktur nasional. Sehingga pengelolaan sumber daya alam memberikan nilai tambah luas bagi kemakmuran rakyat.
15. Hilirisasi harus menjadi haluan baru kebijakan ekspor dan pengelolaan devisa. Selama ini ekspor bahan mentah, lalu kita beli lagi ketika menjadi barang jadi, dan puluhan tahun kita lakukan ini. Kita juga belum merasakan manfaat devisa atas hasil ekspor. Mereka mengambil kekayaan alam kita, namun memarkir devisanya ke luar negeri. Pimpinan Banggar DPR mendukung pemerintah lebih tegas dan berani mengubah tata kelola devisa untuk kepentingan nasional.
16. Agenda untuk memperkuat kemandirian pangan dan energi yang kita canangkan sejak Nawacita 1 juga belum mampu kita raih. Food trade deficit kita beberapa tahun ini makin dalam, dimulai sejak 2007 hingga kini. Bahkan tahun lalu food trade deficit kita menyentuh 5,3 miliar Dolar AS, tertinggi dalam sejarah republik.
17. Demikian halnya sektor energi. Tingkat konsumsi minyak bumi kita sejak 2003 hingga kini lebih besar dengan produksi dalam negeri. Tahun lalu tingkat konsumsi minyak bumi kita lebih dari 1 juta barel per hari, sementara kapasitas produksi dalam negeri hanya 600an ribu barrel per hari, itupun sebagian hak kelola perusahaan minyak asing.
18. Pimpinan Banggar DPR berharap problem fundamental di atas menjadi atensi pemerintah, dan dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Ekonomi Makro serta Pokok Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2025.
BERITA TERKAIT: