Begitu yang disampaikan analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, setelah muncul hasil
quick count yang dilakukan berbagai lembaga survei usai pencoblosan.
"Masyarakat perlu tahu dan tidak perlu ribut soal
quick count, sebab pada akhirnya keputusan pemenang pemilu tetap berdasarkan pada perhitungan metode
real count yang dilakukan KPU. Itulah hasil akhir pemilu yang memiliki legitimasi kuat, bukan
quick count," kata Ubedilah kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu sore (14/2)
Ubedilah mengatakan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 24/PUU-XVII/2019, hitung cepat atau
quick count pemilu boleh dilakukan dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. Sehingga pada pukul 15.00 WIB lembaga survei sudah boleh mengumumkan
quick count-nya.
"Biasanya ketika hitung cepat itu mulai ditayangkan, sangat cepat juga publik memperbincangkan hasil
quick count, dan tidak sedikit yang mempercayainya sebagai angka absolut. Padahal itu bersifat relatif karena menggunakan sampel hasil perhitungan di TPS," terang Ubedilah.
Sebab, menurut Ubedilah, tidak mungkin lembaga survei punya surveyor hingga di 800 ribu lebih TPS.
Karena menggunakan sampel TPS, lanjut Ubedilah, maka hasil
quick count bersifat prediksi. Meskipun, lembaga survei seringkali berani menyimpulkan siapa kandidat yang lebih unggul ketika suara masuk dari sampel yang diambil sudah di atas 70 persen.
"Perlu diingat itu 70 persen dari sampel TPS yang diambil. Biasanya lembaga survei minimal ambil sekitar 10 persen dari jumlah TPS seluruh Indonesia yang diambil secara acak. Jadi dari 800 ribu TPS lebih mungkin hanya ambil 800 TPS secara random atau acak. Jadi tetapi hasilnya prediksi dan relatif," paparnya.
"Saya kira masyarakat perlu paham ini," pungkas Ubedilah.
BERITA TERKAIT: