Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sorot Paman Loloskan Ponakan Jadi Cawapres, Pakar: Hukum Dibengkokkan Penguasa

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Selasa, 09 Januari 2024, 14:05 WIB
Sorot Paman Loloskan Ponakan Jadi Cawapres, Pakar: Hukum Dibengkokkan Penguasa
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti/Repro
rmol news logo Hukum di Indonesia dengan mudahnya dibengkokkan oleh penguasa. Hal itu setidaknya dapat dilihat dari kasus gugatan batas minimum usia capres-cawapres di Mahkamah Konstitusi (MK). Di mana, mantan Ketua MK Anwar Usman, disebut-sebut telah meloloskan sang ponakan, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres di Pilpres 2024.

Demikian diungkapkan pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, dalam diskusi virtual LP3ES bertajuk “Masa Depan Demokrasi Jika Dinasti Jokowi Menang”, Selasa (9/1).

"Sekarang ini begitu banyak hal yang sesungguhnya tidak benar, tidak patut, tidak etik, secara nurani dan rasio kita sebagai manusia, dengan akal budi kita. Kita berpikir ini salah nih, ada paman misalnya ya, yang meloloskan ponakannya, membengkokan hukum sehingga dia bisa nyawapres," kata Bivitri.

Dosen STHI Jentera ini mengaku heran masih ada pihak-pihak yang berpandangan bahwa keputusan hukum di MK hanya sekadar dilihat dari sudut pandang positivisme legal semata. Sehingga, pencalonan putra sulung Presiden Jokowi itu dianggap benar dan tidak melanggar hukum.

"Kita tahu, dalam pikiran kita, dalam akal budi kita, bahwa ini salah. Tapi, karena hukum adalah putusan pengadilan, maka kita harus berdebat dengan orang-orang yang menggunakan paman untuk bilang bahwa putusan MK ini keliru," tuturnya.

"Kemudian, kita akan menunjukkan 'ada nih putusan MKMK yang bilang bahwa Paman bersalah putusan ini keliru'. Tapi sebelah sana akan bilang 'tapi kan putusannya enggak berubah, tidak bisa, toh putusan itu final dan mengikat sampai ada putusan yang mengoreksinya maka pencalonan ini sah, legal'. Nah, itu yang menggelitik sekali belakangan ini, seakan-akan semua orang bisa bersembunyi di balik hukum,” sesal Bivitri.

Atas dasar itu, Bivitri menilai bahwa, praktik membengkokkan hukum tersebut tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan makna dan tujuan dari hukum itu sendiri. Sebab, hukum dianggap sebagai hal yang bisa menentukan benar atau salah karena dibuat oleh negara.

"Jadi, terbalik cara pandangnya. Harusnya hukum itu dibuat berdasarkan apa yang kita pahami sebagai benar atau salah. Tapi, sekarang hukum digunakan untuk melegitimasi yang salah bisa menjadi benar, kalau hukum negara bilangnya begitu. Padahal itu tadi, hukum dibentuk oleh penguasa yang bisa membengkokkan karena otoritas yang dimiliki," jelasnya.

Lebih lanjut, Bivitri menyebut terdapat kekeliruan dalam memahami hukum itu sendiri. Bagaimana tidak, cara berpikir positivisme dan legalisme telah merasuki dan merajalela di Indonesia. Ini sedikit banyaknya dipengaruhi oleh pendidikan, di mana hukum dimaknai sebagai hal yang sudah pasti benar karena dibuat oleh lembaga yang punya otoritas untuk membuat hukum.

"Hukum dibuat oleh penguasa, memang begitu dalilnya. Itulah yang membuat hukum itu adalah instrumen untuk menjalankan kekuasaan. Sehingga banyak sekali akibatnya setelah puluhan tahun cara belajar kita seperti itu. Ini refleksi saya ketika mengajar, sering sekali kenapa kok begitu mudah positivisme cara pandang legalisme merasuki dan merajalela di Indonesia. Bagaimana kita didiknya dengan cara pandang itu," tandasnya. rmol news logo article
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA