Analis intelijen, pertahanan dan keamanan, Ngasiman Djoyonegoro, berpendapat, kedua calon itu mengambil dari sumber berbeda. Beberapa lembaga indeks internasional menempatkan Indonesia di ranking berbeda.
Global Fire Power Index, menempatkan Indonesia pada posisi 13 dari 145 negara pada 2023. Ada Lowy Institute Asia Power Index, menempatkan Indonesia di posisi 9 dari 26 negara di Asia pada 2023.
“Jadi perbedaan data skor bisa berbeda, tergantung lembaga dan indikator yang digunakan pada setiap index yang diselenggarakan. Saya yakin, masing-masing Capres memiliki sumber rujukan yang jelas,” kata pria yang akrab disapa Simon itu.
Yang dia sayangkan, data tersebut justeru diperoleh dari lembaga luar negeri. “Ini menunjukkan transparansi data pertahanan kita lemah,” kata Rektor Institut Sains dan Teknologi al-Kamal itu, lewat rilis yang dikirim ke
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (8/1).
“Di dunia pertahanan, keterbukaan data bukan hal tabu. Bahkan transparansi dapat dijadikan strategi untuk menimbulkan
detterence effect kepada lawan,” katanya. Lawan akan berpikir dua kali jika tau senjata apa yang kita miliki, seperti negara-negara adidaya yang memiliki senjata nuklir, bahkan mengumumkan hulu ledak mereka.
“Sementara dari sudut pandang masyarakat, transparansi data pertahanan justru menimbulkan kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah, dan dapat mencegah terjadinya korupsi,” katanya.
Merujuk pada UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), semua informasi publik dinyatakan terbuka dan dapat diakses. Informasi yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas, dan melalui mekanisme uji konsekuensi.
Penentuan informasi yang dikecualikan harus dilandasi analisis perlindungan kepentingan publik atau kepentingan nasional, dan berdasarkan undang-undang.
“Di negara demokrasi, data pertahanan tidak bisa dinyatakan rahasia secara sembarangan, hingga publik tidak bisa mengakses. Ada data-data tertentu yang di dalamnya terkandung kepentingan publik yang besar, maka data itu harus disampaikan kepada masyarakat,” katanya lagi.
“Saya kira permintaan membuka data terkait capaian
minimum essential force bukan hal yang berlebihan dan melanggar UU KIP. Termasuk data anggaran dan Alutsista yang kita miliki. Toh lembaga-lembaga pemeringkat internasional bisa dengan mudah memperoleh data-data itu, seperti dua lembaga pengindeks yang saya sebut di atas,” kata Simon.
Dia mencontohkan sejumlah data strategi terbaru Amerika Serikat yang dipublikasikan Angkatan Darat mereka. Mulai anggaran, jumlah Alutsista, doktrin militer, fasilitas militer, dan pengembangan pengetahuan kemiliteran AS.
“Istilah
multi domain operation yang membagi matra peperangan dalam lima matra (darat, laut, udara, siber, dan luar angkasa), munculnya dari AD AS. Memang ada sejumlah fasilitas yang dirahasiakan, tapi sifatnya terbatas, tidak semuanya,” kata Simon.
Di Indonesia, informasi strategi pertahanan juga dapat diakses, contohnya buku putih pertahanan, doktrin pertahanan, doktrin operasi setiap matra.
“Anggaran semua kementerian dapat diakses, pengadaan barang dan jasa. Kenapa Kementerian Pertahanan tidak bisa? Ini kan tidak seimbang dalam menerapkan undang-undang. Makanya perlu diuji konsekuensi apa saja yang boleh diumumkan dan mana yang tidak boleh. Misalnya diumumkan nama dan jenis pesawat, berapa jumlahnya, mengapa butuh pesawat itu, mengapa membeli yang bekas?” urai Simon.
“Lalu apa yang rahasia? Yang rahasia adalah data dan informasi terkait strategi operasi, strategi peperangan, penempatan senjata strategis, dan hal teknis lain yang jika diketahui musuh akan memudahkan melakukan penyerangan dan pelemahan,” tambahnya.
“Kenegarawanan Capres-Capres kita diuji dengan sikap proporsional dalam menerapkan undang-undang. Tidak bisa kerahasiaan ditetapkan secara subjektif, meski subjektivitas kolektif. Ketaatan terhadap konstitusi dan hukum adalah sikap negarawan sejati,” pungkas Simon.
BERITA TERKAIT: