"Persoalan pertama terkait regresi demokrasi. Di mana skor demokrasi Indonesia cenderung mengalami regresi dari tahun-tahun sebelumnya, terutama pada 3 indeks, yaitu indeks budaya politik, partisipasi publik, dan kebebasan berpendapat," kata Bamsoet di Kabupaten Kebumen, Rabu (20/12).
Hal itu terlihat dari data Freedom House, di mana skor demokrasi Indonesia turun dari 65 di tahun 2017 menjadi 59 di tahun 2022. Sejak tahun 2020, juga sudah ada beberapa publikasi, seperti yang dibuat oleh Thomas Power dan Eve Warburton tahun 2020 yang menyoroti kekhawatiran bahwa demokrasi di Indonesia bergerak dari stagnasi menuju regresi dalam satu dekade terakhir.
Bamsoet menjelaskan, persoalan kedua yang masih sangat mengganggu demokrasi Indonesia yakni masih kuatnya potensi politisasi identitas. Sebenarnya polarisasi politik sebagai akibat dari menguatnya politik identitas bukanlah fenomena baru. Namun, hal tersebut menjadi lebih jelas dalam beberapa tahun terakhir di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.
Hal itu terekam dalam tiga edisi terakhir pemilu dimulai dari Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pemilu 2019 telah terjadi polarisasi politik yang begitu besar.
"Berdasarkan laporan survei Litbang Kompas bertajuk Tantangan Menepis Polarisasi Politik Pemilu 2024 terekam sejumlah faktor yang dianggap publik sebagai penyebab keterbelahan atau polarisasi politik. Hasil survei menunjukan sebanyak 27,1 persen responden juga menilai, sikap saling tidak menghargai pilihan atau intoleransi menjadi sumber utama terjadinya polarisasi ketika pemilu," jelas Bamsoet.
Bamsoet menerangkan, persoalan ketiga adalah politik uang atau money politics. Merujuk hasil pemetaan kerawanan pemilu dan pemilihan menyoal politik uang yang dilakukan oleh Bawaslu tahun 2023, terdapat lima provinsi paling rawan yang perlu mendapatkan pengawasan ketat.
Kelima provinsi tersebut adalah Maluku Utara dengan skor 100, kemudian diikuti empat provinsi di bawahnya, yakni Lampung skor 55,56, Jawa Barat skor 50, Banten skor 44,44, dan Sulawesi Utara dengan skor 38,89.
"Melihat pengalaman pelaksanaan Pemilu 2019, selama masa tenang Bawaslu telah menangkap tangan peserta Pemilu dan tim pemenangan yang diduga sedang memberi uang kepada masyarakat untuk mempengaruhi pilihannya. Total terdapat 25 kasus di 25 kabupaten/kota yang tertangkap," kata Bamsoet.
Selain itu, lanjut Bamsoet, Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri mengatakan bahwa saat ini ada tidak kurang dari 35 kasus politik uang yang ditangani tim Satgas Anti Politik Uang.
"Pelaksanaan Pilkada serentak 2020 menyumbang total 262 kasus politik uang yang resmi dilaporkan ke Bawaslu," pungkas Bamsoet.
BERITA TERKAIT: